Chapter 16

16.1K 1.2K 23
                                    

Kelopak mata Mora perlahan terbuka setelah beberapa kali berkedip. Menyadari tangannya telah terikat di belakang punggungnya, dia panik. Karena kesulitan melepas, mata Mora menyapu sekitar. Dia tidak bisa melihat apa pun selain lampu kecil yang menggantung di atas plafon.

Perasaannya kalut, cemas, dan takut yang bercampur menjadi satu. Dia tidak mengerti dengan maksud tujuan wanita itu membawanya ke tempat ini. Seingatnya dia tidak memiliki masalah dengan orang mana pun.

Ketukan lantai terdengar di pendengaran Mora. Dengan sigap Mora menaruh sikap waspada, mencari-cari sosok lain selain dirinya.

"Well, well. Akhirnya Tuan Putri bangun juga. Cukup lama nunggu lo bangun ternyata." Suara asing itu memasuki rungunya.

Kondisinya yang sekarang membuatnya tidak dapat membuat otaknya bekerja seperti biasanya. Langkah kaki orang itu mendekat pada Mora, kemudian berhenti tepat di hadapannya.

"Lo tau? Harusnya gue yang ada di posisi lo. Gue yang harusnya jadi milik Agaam! Tapi dengan lancangnya lo rebut dia dari gue!" Nadanya dalam sedetik naik beberapa oktaf.

Dahi Mora berkerut. Darimana dia tahu mengenai hubungannya dengan Agaam?

"Lo inget? Orang yang dateng ke kediaman Agaam empat hari lalu? Dia kakak gue."

Ilona?

"Saya nggak ngerti maksud kamu. Tapi saya sama sekali nggak ada hubungan apa-apa sama Agaam," gumam Mora. Meski hati kecilnya sedikit tidak yakin dengan ucapan yang di lontarkannya.

Wanita itu mendengus, merogoh saku jaketnya. Kemudian menunjukkan sesuatu pada Mora.

"Ini. Punya lo, kan? Lo tau? Agaam yang menyimpannya selama ini. Mungkin benda ini pernah lo cari-cari. Gimana, percaya?" Pertanyaan terakhir Deisha membuat Mora membeku.

Jantung Mora berdetak tak karuan. Semua yang terjadi akhir-akhir ini seakan ditolak mentah oleh nalarnya. Mora menggeleng kecil. Memandang kosong benda yang tergeletak di lantai.

"Ck. Nggak usah pura-pura lugu. Gue udah sering lihat tingkah munafik macam lo. Yang perlu lo ingat, gue nggak akan berhenti sampai Agaam berhasil jadi milik gue," ujar Deisha, meninggalkan Mora sendiri.

Mora sayup-sayup mendengar, tepat sebelum pintu tertutup rapat. Deisha mengatakan sesuatu pada seseorang.

"Sekarang lo pada boleh masuk. Lakukan sesuka hati kalian, kalau bisa buat dia menderita."

Kini berganti orang, masuk dua pria berbadan besar. Lengan kiri kanannya dipenuhi tato yang memanjang. Lengkap dengan seringai buas di masing-masing bibir mereka. Memandang Mora penuh nafsu, tepatnya pada badannya.

Mora beringsut mundur, menghindari dua pria di hadapannya yang mendekatinya. Dia menggeleng keras saat salah satu dari mereka meremas pergelangan kakinya.

Air matanya yang menggenang mulai luruh. Kakinya ditarik kuat oleh permukaan tangan kasar pria itu. Mengelus hingga naik keatas pahanya. Pipinya dielus pelan, lidah pria itu menjilati bibir bawahnya yang terasa kering.

"Lepas, Sialan!"

Mora berkali-kali menendang perut pria tersebut. Sekaligus menghindari kecupan menjijikkan yang hampir mendarat di bibirnya.

"SHUT UP! Kalau lo nggak nurut, gue langsung ke intinya. Mau lo?!" bentak pria itu kasar.

Pria dengan badan sedikit lebih besar itu tanpa pikir panjang merobek baju Mora. Memperlihatkan tanktop abu-abu yang menjiplak dalamannya. Mata pria itu bertambah gairah. Mora sangat ingin melawan namun terhalang oleh ikatan tangannya. Selain kalah jumlah, juga tenaganya yang telah terkuras.

"Bro, badan nih cewek bagus juga. Mau siapa yang pertama? Gue udah nggak sabar." Ucapan kurang ajar keluar begitu saja dari pria berambut hitam cepak.

Sedangkan satu lagi tersenyum sinis pada Mora. Mengulurkan tangannya sampai pada bagian depan tubuh Mora. Mora membelalakkan kedua matanya. Spontan menghindar meski percuma. Hal itu jelas memicu kekesalan mereka, dia menampar keras pipi Mora. Menyebabkan sudut bibirnya sedikit berdarah. Lalu beralih meremas rahang Mora.

Dapat Mora rasa, area perutnya dibelai dari luar dalamannya. Mereka tertawa senang setelah mendapat santapan yang jarang di dapatkannya. "Relax, Sayang. Kita selalu main pelan-pelan."


DOR!!

DOR!!


Seketika tiga insan tersebut tercenung. Saat mendengar suara tembakan dari luar. Mengambil kesempatan, Mora menendang selangkangan pria yang mengukungnya. Belum sempat berdiri lurus, tungkainya ditarik. Badannya terbanting. Timbul luka pada dagunya akibat terbentur lantai kayu yang kasar. Lidah Mora tergigit cukup dalam hingga sekitaran luar mulutnya dipenuhi darah.

"Mau lari kemana lo?! Selama kunci ini ada di tangan gue, lo nggak bisa lari kemana pun."

BRAK!!

Pintu di dobrak paksa, menampilkan sosok yang sangat dikenali Mora. Dia tersenyum lirih, pandangannya perlahan mengabur. Yang terpenting, dia sudah bisa merasa aman.

Dengan tubuh menjulang, Agaam berdiri di pintu. Aura mengintimidasi terasa mengelilingi ruangan tersebut. Matanya berubah gelap, Agaam menatap lurus pria yang telah menyentuh Mora. Rahangnya mengetat, giginya bergemulatuk emosi melihat Mora yang dalam keadaan kacau.

"Berani maju, jalang ini bakal mati!" ancam pria di sebelah Mora. Dia bersiap dengan ujung pistol menempel pada pelipis Mora.

Kesadaran Mora berada diambang-ambang. Penampilannya berantakan, yang mana membuat sisi iblis Agaam memaksanya keluar. Dengan gesit Agaam mengecoh satu pria yang menjadi sasaran pertamanya.

Dalam hitungan detik berhasil melempar pistol. Setelahnya, menarik kepalanya dengan cara diseret. Agaam menendangnya dengan tulang lutut. Sesaat dia mengambil pisau miliknya.

Langkahnya maju dengan sedikit memiringkan kepala. Agaam mengayunkan pisau dan menekannya pada pundak pria itu. Setelahnya menggerakkannya berulang kali hingga menyentuh tulang selangkanya. Sekejap jeritan kesakitan memenuhi ruangan itu.

"Errggg!!! SAKIT, SAKIT!" Teriakan pria itu malah membuat Agaam mendalami perbuatannya.

Beralih mengambil sebuah gunting biasa. Agaam menjepit jari-jari pria itu sampai saling berdekatan. Lalu memotongnya dengan paksa. Benda ini memiliki kecepatan berbeda dengan pisau. Agaam berniat memperlambatnya dengan memotong setiap jari dengan gunting yang agak sulit memisahkan antara tulang jari.

Beruntungnya, pria itu masih sanggup bernafas meski lemah. Darah terus mengalir mengotori lantai. Agaam menjambak rambut pria itu dengan kuat, membuat beberapa helaian rambut rontok dengan sekali tarikan. Pisaunya kembali bekerja, menekan keningnya hingga menembus belakang kepala. Tanpa bergairah dengan korban tersebut. Agaam melepasnya, dengan kedua bola mata yang telah di congkel olehnya.

Sekarang, tersisa satu lagi. Agaam berjalan menghampiri Mora yang pingsan dalam pangkuan Cessy. Emosinya masih dalam tingkatan yang sama seperti sebelumnya. Membisikkan sebuah kalimat di telinga Mora. "I'll be back, Honey."

Kepalanya berputar melihat pria satu lagi yang berubah pucat pasi. Senyum khasnya kembali terbit. Tangan kirinya menggenggam pisau yang telah terlumuri dengan darah temannya.

"It's your turn."

⚜️⚜️⚜️
TBC.

𝐀𝐆𝐀𝐀𝐌𝐎𝐑𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang