Chapter 10

22.6K 1.5K 11
                                    

Mora menyeruput secangkir teh panas. Pandangannya kosong menatap kolam ikan. Dia sedang bersantai di kursi malas taman rumah. Sesekali memperhatikan luka yang masih baru di tubuhnya.

Lagi. Agaam kembali melukainya. Yang tidak mengerti maksud tujuan melukainya. Lukanya tidak sebanding dengan perasaannya. Terpaksa menerima setiap perbuatan Agaam  padanya atas bentuk kemarahan pria itu.

Menghela napas panjang, Mora berdiri. Baru ingin berbalik, dia dikejutkan dengan Agaam. Sepintas ingatan itu membuatnya kembali menjadi takut.

Cangkir yang di genggamnya bergetar. Tidak berani melihat mata coklat pekat itu. Alis Agaam tertarik, jemarinya mengapit dagu Mora hingga terangkat sejajar dengan wajahnya.

"Why? Are you afraid of me?" tanya Agaam.

"Bicara, Sayang."

"N-nggak."

Agaam tampak membuang napas pendek. Kembali memandang Mora dalam. Mora tidak ingin mengasumsikan arti dari tatapan itu. Seakan stok suaranya terbatas, Mora kembali minim berbicara.

Agaam melirik luka sayatan di bahu Mora. Lukanya tidak tertutupi baju. Jelas sekali, dialah yang menciptakan luka tersebut. Sebagai tanda hukuman karena hal kemarin. Sedangkan Ghaka, tanpa banyak bicara Agaam memberi bogeman mentah ke rahangnya. Dia melakukannya pada saat Mora sudah di kamar.

Sejujurnya, keinginan Agaam sangat besar untuk membunuh laki-laki itu. Adanya Mora menjadi sebab dia menunda. Setidaknya, wajah bajingan itu sudah bersimbah darahnya sendiri.

🃏🃏🃏


"Ya Ampun, Mora. Muka lo jadi suram begini, sih? Ada masalah? Coba sini cerita, gue bakal denger kok." Nada khawatir Cessy memasuki indera rungu Mora. Yang sedang menenggelamkan seluruh kepalanya di kedua lengannya yang terlipat.

Kini jam istirahat. Agaam lebih dulu meninggalkan kelas. Dia bisa sedikit bebas untuk bergerak untuk sesaat, karena laki-laki itu tidak memberinya pesan apa pun. Cessy langsung menghampiri meja Mora bertepatan Agaam keluar.

"Nggak ada masalah apa-apa, Sy. Lagi capek aja," jawab Mora malas. Menetapkan bermalas-malasan di meja. Sebaliknya, yang ada Cessy merasa gemas dengan sikap tidak pasti Mora.

"Lo nggak lapar? Gimana kalau ke kantin?"

"Nggak. Aku nggak lapar, kamu bisa ke kantin kalau mau makan." Suara Mora agak teredam karena posisinya.

Cessy mengipasi poninya dengan kesal. Dia tidak ingin sendiri ke kantin. Memilih memainkan ponselnya, tanpa sadar dia asik berselancar di sosial medianya.

Teringat sesuatu, Mora sigap menegakkan tubuhnya. Perlahan raut wajahnya berubah cerah. "Delapan hari dari jadwal Ayah. Berarti Bunda bisa pulang lusa?" gumam Mora bahagia. Dia tidak tahan jika harus berlama-lama tinggal dengan Agaam.

"Lo ngomong apa, Ra?" Cessy tiba-tiba bertanya. Mora hanya sekedar menggeleng kepala.

Bibirnya membentuk senyum tipis. Berharap dengan kepulangan orangtuanya, Agaam akan meninggalkannya.

Tidak ada yang menyadari. Ada seseorang yang terus mengamatinya. Menatap penuh tajam pada Mora. Emosinya tersimpan dalam kepalan tangannya. Setelahnya, dia berlalu pergi.

🃏🃏🃏

Hembusan angin dingin menerpa kulit Mora. Dia merapatkan jaket tebalnya agar mengurangi angin yang masuk ke dalam. Mora baru saja keluar dari supermarket untuk membeli beberapa bahan makanan serta camilan.

Jalanan yang di lewatinya cukup sepi. Sedikit orang yang melaluinya. Mora mempercepat laju kakinya. Tangannya yang menenteng dua plastik berisikan barang belanjaan hampir terlepas kala tidak sengaja melihat seseorang tampak seperti di tarik paksa.

Pikirannya berkecamuk, antara ingin mengikuti atau menghiraukan. Pada akhirnya, memutuskan membuntuti orang tersebut.

Cukup sedikit cahaya yang di dapatnya. Jantungnya berdegup kencang. Dalam hidupnya tidak pernah mendatangi tempat seperti ini. Gelap dan sempit.

"Arrgg! SAKIT!!!"

Pupil Mora membesar. Jeritan kesakitan itu terdengar pilu. Dia mendengar meski samar-samar, bunyi seperti tusukan pada sesuatu. Mencoba mengintip dari balik tembok, nafasnya mendadak tercekat.

Di sana, dia melihat adengan pembunuhan yang tak pernah dia sangka. Mora tak kuasa menahan rasa mual pada perutnya begitu melihat sosok berperawakan hitam memunggunginya sedang mengoyak tubuh orang itu.

Pandangannya mengabur, tidak bisa berpikir jernih lagi. Tak mampu menolong seperti tujuan awalnya. Mora lekas berlari. Menyisipkan kata maaf berkali-kali dalam benaknya.

Kejadian tadi mampu membuat Mora kesulitan tidur sepanjang malam. Membuat rasa takut itu menjadi-jadi. Badannya melemas. Merapatkan selimutnya sampai menutupi seluruh tubuhnya.

⚜️⚜️⚜️
TBC.
sedikit lebih cepet up-nya 😂
babayy~ jumpa lagi senin depan 😾!

𝐀𝐆𝐀𝐀𝐌𝐎𝐑𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang