Chapter 5

29.5K 2.2K 38
                                    

Cahaya matahari menembus celah tirai jendela yang mengarah pada ranjang. Sosok laki-laki yang sedang duduk di sofa memperhatikan wujud perempuan yang masih larut dalam tidurnya. Dengan di temani secangkir kopi yang masih mengepul panas. Matanya terus memperhatikan objek di depan dengan tajam.

Dia tersenyum tipis melihat pergerakan Mora. Membiarkan gadis itu untuk membiasakan cahaya yang menghalaunya. Mungkin, Mora belum menyadari ada seorang 'lain' di ruangan yang sama dengannya.

Mora mengumpulkan seluruh kesadarannya. Bibirnya meringis kala masih mengenakan handuk bathrobe. Terlintas di pikirannya kejadian semalam. Dia terdiam sembari menguatkan diri.

Kaki jenjangnya menyentuh lantai yang terasa dingin. Matanya mengawasi sekitar dengan was-was. Perhatiannya terhenti saat menatap sosok itu. Sebisa mungkin menahan jeritan yang ingin melolos. Laki-laki itu tersenyum miring, melangkah dengan pelan mendekati Mora yang di selimuti perasaan gelisah.

Laki-laki itu menyentuh rambut Mora dengan tatapan datar. "Cepat mandi, turun dan sarapan." Kata itu keluar begitu saja dari mulut Agaam. Seolah tidak pernah ada sesuatu yang terjadi, Agaam melangkah meninggalkan kamar Mora.

Mora masih tidak menduga. Padahal dia berharap Agaam akan pergi malam itu setelah dirinya terlelap. Nyatanya, dugaan itu harus dia tepis jauh-jauh.

Mora tanpa berlama-lama mandi. Setelah beberapa menit, dia memakai seragam sekolah. Menatap pantulan dirinya di cermin besar. Ah, padahal dia baru saja masuk sekolah baru, kenapa ada kejadian yang tidak mengenakkan ini.

Kakinya melangkah pelan meninggalkan kamar. Ingin sekali memperlambat waktu namun disadarkan dengan suara yang tidak ingin dia dengar sama sekali. "Kenapa diam? Perlu aku tarik, baru kamu dengar?" Suara dingin itu lagi-lagi menusuk rungunya.

Tungkainya langsung melangkah cepat, hingga nyaris tersandung karena kakinya sendiri. Agaam berdecak. Laki-laki itu menatap tajam Mora, mengisyaratkan agar duduk di kursi depannya.

Mora meringis melihat menu sarapan yang tersedia di meja makan. Seumur-umur, dia baru pertama kali sarapan dengan bubur dan susu putih. Entah, rasanya akan berakhir seperti apa. Karena, di list ketidaksukaannya, makanan bertekstur lembek itu termasuk ke dalamnya.

Arah matanya perlahan naik kepada Agaam. Ingin mengatakan sesuatu namun tertahan di ujung bibir. Alhasil, Mora tidak mampu mengeluarkan perkataannya.

"Bicara. Nggak perlu takut begitu."

Sial. Agaam menyadarinya.

"A-aku nggak suka bubur," ucap Mora sangat pelan.

Agaam membuang napas berat. Dengan penuh kelembutan menatap Mora. "Makan, aku beli untuk kamu makan. Jangan membantah."

"Ta-tapi aku nggak suka," jawab Mora. Agaam tersenyum tipis sesaat. Kemudian memandang Mora yang masih enggan memakan sarapannya.

"Perlu aku suapi?" Hanya dengan tiga kata yang di lontarkan Agaam, berhasil membuat Mora menyendokkan bubur panas itu ke mulutnya. Mengunyah perlahan makanan itu dengan berat hati.

Baru sendok keempat, Mora mendorong piring yang masih penuh dengan bubur itu ke depan. Tanda sudah tidak ingin lagi, Agaam memperhatikan Mora namun tidak melarang perbuatan gadis itu. Hal ini jelas sudah di ketahuinya.

Mora menghabiskan susu putih dan membersihkan sisa susu yang berbekas di area bibirnya. Ekor matanya melirik jam dinding lalu beralih pada Agaam yang berada di dapur. Jujur, dia akan akui jika Agaam memiliki bahu yang tegap dan lebar. Juga wajahnya yang terlewat tampan. Namun, semua itu membuatnya mengingat perlakuan tak mengenakkan yang terjadi sebelumnya.

Agaam di sekolah berbeda dengan sekarang yang di lihatnya. Mora menyadari bahwa Agaam tidak memakai kacamata yang selalu bertengger di batang hidungnya.

Mora beralih menatap meja makan dengan pandangan kosong. Tidak tahu apa yang harus di lakukannya sekarang. Hidupnya dalam hitungan detik berubah drastis sejak Agaam datang.

"Apa pesan sejak dua hari lalu itu dari kamu?" tanya Mora angkat bicara. Meski takut, bibirnya tak dapat menahan pertanyaan satu ini.

Agaam memandang Mora lamat-lamat. "Iya."

Agaam menarik lengan Mora tanpa menjawab dengan kejelasan. Dua insan itu berjalan hingga depan gerbang rumah. Agaam membawa mobil saat datang ke rumah Mora. Laki-laki itu membukakan pintu bagian penumpang untuk Mora.

Suasana sangat hening. Tidak ada yang berniat memecah kesunyian, Agaam menyetir dengan serius. Jari-jari Mora saling memilin, tidak berkeinginan mengeluarkan suara.

Tanpa sengaja matanya menangkap suatu benda yang menurutnya tidak asing. Alisnya mengernyit. Di dashboard yang setengah terbuka, dia melihat kacamata dengan bingkai tipis berwarna putih. Persis seperti yang pernah dia punya.

Hal itu mengingatkannya akan sesuatu. Ketika di bangku SMP, dia sempat memakai kacamata. Namun, karena ulah teman kelasnya. Kacamata itu diambil dengan unsur kejahilan, dan berakhir hilang.

Dia menggeleng dalam hati. Nggak mungkin, itu udah lama. Pasti udah hilang.

Sekali lagi dia memperhatikan benda itu, memastikan jika benar bukan miliknya. Matanya menyipit. Dia menemukan ada tulisan 'AM' dengan ukuran kecil. Tidak ingin salah lihat, karena sedikitnya cahaya yang masuk ke dalam ruang kecil itu.

Mobil berhenti di dalam parkiran sekolah. Agaam lebih dulu membuka pintu mobil sebelum Mora ingin melakukannya. Gadis balutan SMA itu turun dengan perasaan campur aduk. Demi apa pun, dia risih dengan tatapan berbagai jenis oleh murid yang berada di sekitarnya.

Agaam yang notabene sama sepertinya, murid pindahan. Lebih banyak yang gencar ingin mendekatinya. Para siswi tertegun dengan perilaku Agaam. Dengan tanpa adanya jarak, Agaam merangkul Mora dengan intens.

Mora berkali-kali ingin melepaskan, namun tangan Agaam malah mempereratnya. Lalu laki-laki itu berbisik pelan di telinga Mora.

"Bel istirahat aku tunggu di taman belakang. Jangan telat."

⚜️⚜️⚜️
TBC.
enggak semangat ni kalo sepi bgt ):

𝐀𝐆𝐀𝐀𝐌𝐎𝐑𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang