Dua menit sebelum mengarah ke angka 22.00, Agaam bergegas mengendarai mobilnya. Agaam secepat mungkin meninggalkan cabin seorang diri. Pedal gas ditekan kuat-kuat setelah benaknya kacau memikirkan keadaan Mora. Kecelakaan? Dia sendiri sangat tahu penjagaan Mora sangatlah ketat.
Agaam sempat menghitung jumlah pengawal dan juga mata-mata yang telah dia utus. Amarahnya seketika melambung naik. Ketika sampai di sebuah Rumah Sakit. Jarinya dengan kasar melepas dasi yang semula terlipat rapi dibalik jasnya. Dengan proposi badan terlewat sempurna, Agaam sukses menyita hampir seluruh perhatian penghuni rumah sakit yang dalam kondisi cukup penuh.
"Selamat datang, Tuan," sapa salah satu perawat yang berdiri di sebelah resepsionis.
Mengabaikan beberapa hormatan dari pekerja di sana. Agaam tidak perlu repot-repot menanggapi hal itu. Saat ini, nyawa gadis itulah yang harus dipertaruhkan dalam kondisi genting seperti sekarang. Ingin rasanya Agaam memaki, lift yang dia gunakan terasa lama sekali untuk naik hingga ke lantai 28. Untungnya dapat dia atasi dengan menebalkan kesabaran. Pintu lift terbuka sempurna, kakinya melangkah dengan lebar. Lorong di lantai itu hanya ada satu namun lebar. Dan ujung dari tempat itu terdapat ruangan.
Tepatnya, ruangan di mana Mora sudah dipindahkan selepas dilakukan operasi. Agaam membuka sebagian pintu. Di sana, terbaring tubuh lemah seorang gadis dengan beraneka selang yang menjadi satu-satunya topangan untuk tetap bernafas dengan baik. Agaam bisa melihat dengan jelas, perban di kepala Mora serta cervical collar yang melingkari lehernya.
Hanya dengan Mora, tatapannya melunak. Rasanya dia ingin menghabisi siapapun yang menyebabkan gadis satu-satunya yang selalu dia lindungi berakhir terbaring tanpa adanya pergerakan. Dengan gerakan sangat pelan dan lembut, Agaam memegang seluruh telapak tangan Mora dan mengelusnya di sana.
Ini sudah ketiga kalinya Agaam mendapat kabar yang sama. Mora berkali-kali mendapat serangan yang jelas bukan tanpa sengaja dilakukan. Menyesali karena jarang menemui secara langsung, Agaam membuang nafas berat.
"Don't sleep too long, Amore."
Dia tidak bisa lebih lama menatap wajah Mora yang senantiasa terpejam. Jantungnya terasa diremas dengan kuat, memutuskan duduk di sofa single yang tak jauh dari bangsal Mora. Sebelum itu, dia mengecup dalam kening serta bibir gadisnya. Tatapan nanarnya begitu kentara ketika melihat Mora larut dalam tidurnya.
Agaam mendaratkan bokongnya di sofa. Namun, mau bagaimana pun, kedua matanya tidak pernah bergulir selain ke tempat Mora berada. Sulit untuk dilepaskan.
Terpaksa Agaam harus bergerak, dia mengambil ponsel yang tersimpan di balik saku celana hitamnya. Menekan nomor seseorang, sebelum mendaratkan di telinga kirinya.
"Kosongkan semua jadwal sampai dua minggu ke depan." Agaam berucap datar.
Sambungan putus secara sepihak. Agaam melempar asal benda tipis itu di atas meja kaca. Hingga menimbulkan suara dentuman cukup keras. Kedua tangannya bertengger di lengan sofa. Kepalanya menengadah memandang plafon putih polos. Helaan kesekian kalinya lolos. Mungkin dia harus mengistirahatkan sejenak otaknya.
"Nnggh.."
Suara lenguhan yang terdengar lemah itu sontak membuat Agaam beranjak mendekati Mora. Terdapat kerutan halus di kening gadis itu. Agaam otomatis mengelus punggung serta pundak Mora bermaksud menenangkan. Dia menunggu sampai kedua mata Mora yang perlahan terbuka dan berkedip beberapa saat.
"Mora.. I really miss you." Lirihan Agaam di dengar samar-samar oleh Mora.
Mora baru menyadari kehadiran lain setelah menengok tepat Agaam duduk di sisinya. Mora menegang sejemang, pertama kalinya mereka dalam keadaan sedekat ini setelah terlewat beberapa minggu tanpa adanya komunikasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐆𝐀𝐀𝐌𝐎𝐑𝐀
RomanceAgaam pemaksa, tentu saja. Namun, ada sesuatu buruk lainnya yang Mora belum ketahui. Series 1: Cavero's since: 12/4/2020 re-publish: 1 Sept 2021 ▪️▪️▪️ #1 in insane #1 in boykiller #1 in darkromance #1 in psychopat #1 in highschool #1 in dark #1 in...