Mora mengulum bibirnya, dari tadi badannya bergerak gelisah. Selama lima menit Agaam menatapnya datar. Dia persis seperti sedang di interogasi karena berbuat kesalahan.
"Kamu dari mana? Baru inget pulang?" Kalimat menusuk itu bertambah membuatnya ciut.
"Jawab, Mora."
"Maaf."
"Aku nggak butuh permintaan maaf. Jawab pertanyaan aku tadi," sela Agaam.
"Angkat kepala kalau lagi bicara sama aku." Nadanya terbilang sangat datar.
Beberapa detik Mora terdiam. Barulah dia menjawab, "Aku sama Mami pergi jalan-jalan. Kita bosen karena terus di sini," keluh Mora.
"Tanpa ijin aku? Mora, aku hampir gila saat tau kamu tiba-tiba nggak ada. Semua orang di sini cari kamu. Dan kamu baru datang malam ini," ujar Agaam frustrasi.
"Aku pergi sehari ini aja, Agaam. Lagipula kalau aku ijin, aku nggak akan bisa keluar," jawab Mora lagi.
"Terlepas dari aku ijinin atau nggak, kamu harus tetap kasih tahu aku. Kamu mau ngerasain hal yang sama waktu dulu?" Sudut bibir Agaam tertarik melihat reaksi Mora.
"N-nggak, aku minta maaf. Aku salah," cicit Mora. Dia menggeleng kepala mengenyahkan ingatan buruk itu.
Agaam terkekeh rendah. Kemudian mengelus puncak kepala Mora sebelum beranjak masuk ke kamar mandi. Dari pagi tadi dia tidak memiliki waktu untuk membersihkan diri. Dia terus mencari Mora tanpa adanya kata lelah. Gadis itu sengaja meninggalkan ponselnya. Jadi, cukup lama untuk mencarinya.
Mora mendengar samar gemericik air dari dalam kamar mandi, mengusap wajah kasar. Belum sempat merebahkan tubuhnya, dia dikejutkan oleh suara dering ponsel.
Ponsel milik Agaam. Agak ragu untuk mengangkatnya, namun panggilan itu terus berbunyi tanpa jeda. Akhirnya dia memutuskan mengambil benda pipih itu. Dahinya mengernyit heran, nomor itu tidak memiliki nama. Butuh dua kali memikirkan untuk memutuskan mengangkatnya.
Jarinya menggeser tombol hijau, dan mendekatkan layar ponsel ke telinganya. Awalnya terdengar suara helaan, beberapa detik langsung terdengar suara yang sangat asing.
"Halo, Sayang. Kenapa lama banget terima teleponnya? Aku kangen."
Badan Mora membeku. Suara khas wanita itu melewati rungunya. Matanya termenung menatap depan.
Seorang perempuan menelfon Agaam? Sejak kapan Agaam berkenan berhubungan dengan lawan jenis. Dan kenapa dia memedulikannya? Ini tidak benar. Jantungnya seperti dihantam sesuatu yang tajam hingga terasa pedih.
"Agaam! Are you there? Jawab aku!" Lagi-lagi suara itu membuatnya bergeming.
"Ma-maaf, Agaam lagi mandi," jawab Mora sepelan mungkin.
"What? Ini siapa? Kenapa hpnya ada di orang lain?" tanya perempuan itu.
"Eh– ini temennya Agaam. Dia tadi ninggalin ponselnya di meja."
"Terus kenapa kamu yang angkat? Nggak sopan!" sembur penelfon.
"Saya angkat karena kamu nggak berhenti telfon. Saya pikir ada hal yang penting," timpal Mora berusaha tenang.
"Ck. Kasih ponselnya ke dia. Sekarang."
Mora melirik ponsel Agaam sekilas dengan kening mengernyit. Apa-apaan dia? Seenak jidat menyuruh-nyuruh.
"Hei! Kamu dengar?! Aku pasti akan bilang ke Agaam karena kelancangan kamu itu! Bitch," cecar perempuan itu lagi.
Tanpa sadar Mora tersenyum sinis. "Coba kalau kamu berani."
Wanita di seberang sana mengepal tangan kuat. "Kamu nggak tahu aku pacar Agaam? Habis riwayat kamu."
"Really? Tapi faktanya yang lagi bicara sama kamu itu orangnya."
Ntah, seperti apa balasan di penelfon itu mendengar penuturannya. Karena dia sudah menjauhkan ponselnya bertepatan dengan keluarnya Agaam. Pria itu menaikkan sebelah alisnya.
"Siapa?" tanya Agaam mendekatinya.
Dengan cepat Mora menyodorkan ponsel itu pada Agaam. Ekspresi gadis itu sedikit kecut. Namun tak menampik, diam-diam dia melirik badan Agaam yang shirtless.
Dahi Agaam mengernyit kala menyadari Mora hanya memalingkan wajahnya. Pandangannya jatuh ke ponselnya yang masih terhubung dengan nomor tidak dikenal.
"Who?" tanya Agaam. Matanya mengikuti langkah Mora yang menjauh dan berjalan ke luar balkon.
"Agaam? Ini aku, Anola! Kamu tidak mungkin melupakan itu, kan?"
Sesaat Agaam terdiam. "Apa? Aku tidak membutuhkannya lagi."
"No way! Aku akan mendatangimu kalau kamu tidak menuruti keinginanku."
"Berisik. Jangan telfon nomor ini lagi," ketus Agaam.
Tanpa lama, Agaam memutuskan sambungan. Setelah memblokir nomor tadi, dia melempar ponselnya asal. Lalu menghampiri Mora. Kedua lengannya memeluk gadis itu seraya mengecup tengkuknya. Dapat Agaam rasakan keterkejutan gadis itu karena tindakannya.
"Ada apa? Cerita ke aku," bisik Agaam.
Mora tak menggubris. Seolah otaknya memerintahnya untuk melakukan hal tersebut.
"Mora... bisa langsung bilang ada masalah apa?" Agaam berusaha membujuknya.
Helaan napasnya lolos, Mora akhirnya menyahuti, "Nggak ada apa-apa."
"Aku tahu kamu bohong. Mora, Please..."
"Serius. Nggak ada masalah apa pun," ucap Mora jengah. Sedikit kedinginan dengan angin malam yang lebih kencang dari biasanya. Dia memutuskan kembali masuk.
Alis Agaam mengerut tipis. Sejenak dia berpikir, tiga detik kemudian senyum miring terpatri di bibirnya. Begitu ikut merebahkan tubuhnya di samping Mora, Agaam membisikkan sesuatu.
"Are you jealous, huh?" Suara dalam Agaam membuat bulu kuduk Mora meremang.
"No! I'm not!" pekik Mora. Dia menahan agar tidak berteriak. Telapak tangan Agaam mengelus perutnya dari luar.
Agaam benar-benar sinting, rutuknya dalam hati. Matanya memejam erat mengabaikan segala pancingan Agaam.
Agaam beranjak menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Mengamati Mora sembari mengerling nakal padanya. Merasa puas dengan yang dilakukannya beberapa saat lalu.
⚜️⚜️⚜️
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐆𝐀𝐀𝐌𝐎𝐑𝐀
RomanceAgaam pemaksa, tentu saja. Namun, ada sesuatu buruk lainnya yang Mora belum ketahui. Series 1: Cavero's since: 12/4/2020 re-publish: 1 Sept 2021 ▪️▪️▪️ #1 in insane #1 in boykiller #1 in darkromance #1 in psychopat #1 in highschool #1 in dark #1 in...