ix. that winter, the wind blows

140 39 2
                                    

Torrington, Connecticut, 2003

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.










Torrington, Connecticut, 2003.

 

Dinginnya udara di luar tak lantas membuat gadis kecil bermantel kuning cerah tersebut menyerah begitu saja. Semangatnya bahkan bertambah sekuat tiupan angin yang membelai permukaan wajahnya; menyapa seolah meminta berkenalan. Langkah kecil berbalut boots cokelat pemberian sang kakek tahun lalu itu kini bergerak menuju sebuah taman yang lokasinya tepat berada di belakang gereja Basilica.

Gadis kecil itu berani berpergian sendirian sebab jarak taman tersebut tidak terlalu jauh dari panti asuhan tempat ibunya bekerja. Mungkin hanya terhalang sebuah bangunan dan jika tidak salah bangunan tersebut merupakan sejenis camp penampungan sementara para imigran Timur Tengah.

   

Tidak seperti camp lain yang dibuat dengan tenda dan tikar, camp penampungan milik yayasan St. Mary Episcopal ini sangatlah megah. Keseluruhan bangunan di area ini berarsitekturkan gothic italianate, yang di antaranya terdiri dari camp para imigran, panti asuhan, tempat tinggal para suster, sekolah, gedung arsip, dan yang terakhir gereja Basilica yang bangunannya terlihat paling megah dari yang lain.

Kendati tempat ini terasa agak menyeramkan sebab menyajikan kumpulan bangunan tinggi menjulang bercirikan menara dengan ujung yang lancip serta detail ornamen yang rumit, pun ditambah lokasinya yang berada di tengah hutan, semua kesan menyeramkan itu akan hilang setelah kalian melihat banyaknya anak-anak kecil yang bermain pun berlarian dengan riang di dalamnya.

Gadis bermantel kuning mencolok itu salah satunya. Usianya memang masih sekitar lima tahunan, tetapi siapa yang menyangka jika kepedulian gadis itu terhadap orang lain mampu mengalahkan kepedulian orang-orang yang usianya jauh berada di atas gadis itu.

Di saat anak seusianya masih bermanja pada orangtuanya, gadis itu lebih memilih mengikuti sang ibu yang memang merupakan pekerja sosial aktif. Ibunya ini lah yang berperan penting dalam mengajarkan rasa peduli pun empati terhadap orang lain kepada gadis itu.

Gadis kecil yang mempunyai senyum manis itu adalah Song Airen. Saking cintanya Airen pada dunia sang ibu, gadis itu bahkan rela meninggalkan Perancis, berpisah sementara dari sang ayah karena memilih untuk ikut dengan ibunya tinggal sementara di salah satu negara bagian Amerika Serikat, Connecticut.

Sudah sekitar enam bulan sejak kepindahannya ke sini, Airen tidak pernah berhenti mengucap syukur sebab hari-hari yang dilaluinya di sini sangat berbanding terbalik dengan apa yang ia lalui ketika masih berada di Perancis.

   

Tidak ada penolakan yang biasa Airen terima saat masih tinggal di negara kelahirannya tersebut. Tidak ada laki-laki gendut bernama Damien yang selalu menjahilinya. Tidak ada Theresia yang selalu membuatnya menangis. Tidak ada Miss Adelyn yang setiap hari melontarkan ucapan rasis kepadanya. Tidak ada hal buruk yang terjadi di sini.

A Million Pieces ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang