Bertha baru saja mengeluarkan roti panggang dari dalam oven begitu suara pintu depan terdengar terbuka. Wanita itu melangkah memastikan bahwa orang yang baru saja datang itu adalah entitas yang sudah ditungguinya selama satu jam lebih.
Benar saja, Nosa saat itu tengah melangkah masuk begitu Bertha mengintip dari arah dapur. "Aku sudah menunggumu lama. Makan malam sudah siap dari satu jam yang lalu dan kenapa baru pulang sekarang?"
Nosa nampak belum memberikan jawaban, yang ia lakukan hanya berjalan pelan ke ruang tengah lalu mengambil tempat di salah satu sofa. "Nosa? Kenapa tidak dijawab?"
Bertha meraih segelas air putih sembari menyiapkan sepotong roti di atas piring kecil sebelum memutuskan beranjak menjemput presensi Nosa di ruang tengah.
"Ada apa?" Bertha langsung bertanya lagi saat dia menemukan Nosa yang menghela napas frustasi begitu wanita itu sampai di hadapan Nosa.
"Tidak apa, Bu..." Laki-laki itu menjawab dengan suara pelan, yang kali ini sedikit menyandarkan kepalanya di tumpuan sofa. Bertha perlahan menaruh sepiring roti dan segelas air putih di meja dekat Nosa.
"Aku tahu ada sesuatu. Kau tidak usah menyangkal."
Nosa menghela napas lagi. "Aku tadi masuk rumah sakit."
Bertha sedikit menampilkan mimik terkejut. "Ha? Ada apa? Bukannya hari ini bukan jadwalmu check up?"
Nosa menggeleng pelan. "Memang bukan."
"Lalu kenapa?"
"Tadi Nosa sempat pingsan waktu di cafe. Untung saja ada Ive yang menolongku."
Kening Bertha mengerut. "Pingsan? Pingsan kenapa?"
"Aku tidak tahu. Dokter Lee bilang aku baik-baik saja. Mungkin karena kelelahan."
Bertha menghela napas panjang. "Untung saja kau tidak apa-apa. Tapi aneh, kenapa dokter Lee tidak menghubungiku kalau kau masuk rumah sakit."
Nosa mengedikkan bahunya. "Mungkin saja karena tidak parah."
Mata Bertha menyipit menodong. "Dan kau. Kenapa tidak beritahu ibu?"
"Aku cuman tidak ingin ada yang nekat pergi ke rumah sakit dengan keadaan khawatir, lalu mengancam keselamatannya dengan mengendarai mobil terburu-buru." Bertha malah tersenyum kecil, ia tahu Nosa sedang menyinggungnya.
"Oh iya, makan malam sudah siap. Ayo makan."
"Hmm, aku tidak makan dulu, Bu. Tadi Ive sudah membelikanku makan saat di rumah sakit."
"Oh? Benarkah? Ibu harus meneleponnya untuk berterima kasih." Bertha hendak saja ingin beranjak, namun Nosa tiba-tiba saja membuka suara. "Bu, aku mau tanya."
Bertha kembali duduk. Menyambut kalimat Nosa dengan bertanya "Apa?"
"Sebenarnya, kecelakaan yang menimpaku waktu itu, seperti apa?"
Bertha agak menyipitkan pandangannya begitu merasa pertanyaan Nosa barusan membuatnya bingung. "Kenapa bertanya seperti itu?"
"Tidak, bertanya saja."
"Waktu itu, kau sedang berada di dalam taksi saat kecelakaan terjadi. Sopir taksi yang kau tumpangi sedang dalam pengaruh narkoba. Pada akhirnya taksi yang kau tumpangi menabrak pembatas jalan dan terjatuh cukup jauh di dalam jurang. Setidaknya itu yang ibu tahu dari pihak kepolisian yang kala itu mengurusi kasusnya." Nosa diam memperhatikan, sampai kepada mimik ibunya yang mengangkat senyum tipis. "Aku bersyukur kau selamat. Meskipun sang supir harus mati ditempat."
Nosa diam di tempatnya. Pandangannya nampak berputar pelan memikirkan sesuatu. "Apa sejauh itu mobil taksinya terjatuh?"
Bertha mengangguk, sebelum menambahkan "Cukup jauh. Mobilnya sampai terbalik dan semua kaca pecah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Life of NOSA [END]
Science FictionNosa menaruh curiga pada tubuhnya. Hal itu berangkat dari sepenggal ingatan yang terpatri permanen di dalam otaknya. Ingatan-ingatan itu terkadang muncul mengambil alih seisi kepala, menjadikannya bukan lagi sosok Nosa yang dikenal. Meskipun baru be...