Nosa sedang memasak sarapan saat smartphone-nya berbunyi nyaring dari atas ranjang. Laki-laki itu mengecilkan api, lalu beranjak mengambil benda persegi panjang itu.
"Nosa, bisa ketemu pagi ini?" Itu Davina yang kini bertanya di seberang panggilan. Nosa yang kini menjepitkan smartphone di antara daun telinga dan bahu kiri kemudian balik bertanya, "Sepertinya bisa. Ada apa?"
"Aku cuman ingin berbicara denganmu lagi. Aku masih punya pertanyaan untukmu." Nosa bergumam sebentar, tak jelas terdengar, sebelum berucap, "Baiklah. Tapi aku butuh waktu untuk siap-siap."
"Oke. Mau bertemu dimana?"
"Bagaimana kalau cafe tempat kita bertemu kemarin?" Saran Nosa, dan gadis di seberang menyambut baik. "Baiklah kalau begitu. Beritahu aku kalau kau sudah mau sampai."
"Tentu." Panggilan itu lalu berakhir. Nosa selanjutnya mempercepat aktivitasnya karena ia tidak ingin mengulur waktu dan membuat Davina menunggu. Dia juga punya sesuatu untuk dikatakan pada Davina.
∞∞∞
Taksi yang Nosa tumpangi akhirnya sampai setelah sekitar lima belas menit berlalu. Laki-laki itu membayar dengan e-wallet dan segera turun untuk menyusul Davina.
Karena letak cafe yang bukan di samping jalan utama, Nosa harus berjalan lagi sekitar semenit. Di sela-sela melangkahnya, Nosa mengetik pesan untuk dikiriminya pada Davina bahwa sebentar lagi dia hendak tiba.
"Joan!" Samar-samar, dari arah belakang suara wanita menyeruak kuat. Nosa tetap melangkah tanpa menoleh, meskipun beberapa orang di sekitarnya sempat terlihat berbalik dan menoleh ke belakang karena teriakkan yang lumayan luat.
"Joan! Joan!" Nosa tahu panggilan itu pasti tidak ada urusan dengannya, jadi dia tetap berjalan. Sekitar lima langkah lagi diambilnya, dan seseorang dengan gerakkan yang kasar menahan bahu kanannya.
Karena Nosa kaget, laki-laki itu langsung membalik dan agak menjauh. Dia menatap heran pada seorang wanita berusia tiga puluhan terlihat menatapnya dengan napas yang memburu kuat.
"Kenapa kau tidak menoleh?! Padahal sudah berkali-kali dipanggil." Wanita itu sempat menunduk untuk mengatur napasnya. Nosa yang kebingungan lalu bertanya, "Maaf, maksudmu?"
Wanita itu menaikkan pandangannya pada oniks Nosa. Ada senyuman yang pelan-pelan merekah di bibir sana. "Joan, Ibu sudah mencarimu kemana-mana, dan ternyata menemukanmu di sini."
Nosa makin mengerutkan keningnya. "Joan?"
Wanita itu mulai membaca raut laki-laki di hadapannya yang kini makin terlihat kebingungan dibuatnya. "Kau masih kenal Ibu kan, Joan?"
Nosa makin saja tidak mengerti. Sepertinya wanita ini salah orang. "Ibu?"
Senyuman yang tadi terpasang di sang wanita, pelan-pelan memudar begitu melihat respon seseorang di hadapannya yang makin saja kebingungan.
"J-Joan? Apa kau tidak mengenaliku lagi?"
"Maaf. Tapi aku bukan Joan, sepertinya anda salah orang," ucap Nosa. Wanita di hadapannya malah membelalak. Apa-apaan salah orang, jelas-jelas laki-laki itu Joan.
"T-tidak. Kau Joan kan? Aku tahu betul."
Nosa menggeleng ringan. "Maaf, tapi aku bukan Joan. Aku Nosa."
Wanita di hadapan Nosa menggeleng tak percaya. Merasa bahwa wanita tersebut hanya mengulur waktunya, Nosa memutuskan untuk melanjutkan langkahnya. Tapi ternyata, wanita itu menahan tangan Nosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life of NOSA [END]
Ciencia FicciónNosa menaruh curiga pada tubuhnya. Hal itu berangkat dari sepenggal ingatan yang terpatri permanen di dalam otaknya. Ingatan-ingatan itu terkadang muncul mengambil alih seisi kepala, menjadikannya bukan lagi sosok Nosa yang dikenal. Meskipun baru be...