#3

242 26 7
                                    

Bertha baru kembali dari minimarket, dan begitu ia masuk kembali ke dalam ruang rumah sakit, ia tersentak dengan kehadiran pandangan kosong dari sosok yang terbaring lemah di atas ranjang.

"Kau sudah sadar?!" Tatapan Bertha membulat penuh. Ia mampir ke meja nakas sebentar untuk menaruh belanjaannya dan setelahnya bergerak mendekat.

"Syukurlah. Hei, bagaimana keadaanmu?" Bertha kembali bertanya begitu ia masih mendapati tatapan laki-laki itu yang masih menatap lurus ke depan.

"K-ke-kepalaku... s-sakit sekali," ucap pemuda itu parau. Bertha meraih satu tangannya lalu mengelusnya lembut. "Iya, aku tahu itu pasti sakit sekali. Selepas kecelakaan seminggu yang lalu, kau tidak sadarkan diri."

Laki-laki itu ingin menyentuh perban di kepalanya, namun Bertha menahan tangannya. "Jangan disentuh dulu. Luka jahitannya pasti belum sembuh total."

"J-ja-hitan?"

Bertha mengangguk begitu laki-laki itu bertanya lagi. "Karena kecelakaan itu, kepalamu mengalami trauma hebat, sehingga beberapa bagian kepalamu harus dioperasi."

Laki-laki itu terdiam. Pandangannya mondar-mandir mengisi seluruh ruangan. Bertha paham benar, laki-laki itu pasti sedang kebingungan. "Nosa? Apa kau lapar?"

Laki-laki itu kembali menatap Bertha bingung. Dari balik bibirnya yang pucat, ia kembali lagi bertanya, "N-Nosa?"

Untuk kesekian kali, Bertha kembali mengangguk. "Iya, Nosa. Itu namamu."

"A-aku t-tidak ingat..."

Bertha memberi elusan pelan di telapak tangan Nosa. "Dokter bilang, ingatanmu memang menghilang setelah benturan hebat. Setidaknya nyawamu masih bisa selamat."

Nosa masih terus menatap Bertha, membuat wanita itu kebingungan di tempatnya. Sampai ia sadar, belum menjelaskan siapa dirinya pada Nosa. "Oh iya. Aku Bertha, aku ibumu."

Pandangan Nosa terlihat bergerak sendu, membuat Bertha sedikit khawatir. "Ada apa?"

"Aku cuman merasa buruk. Tidak mengingat ibuku sendiri." Bertha tersenyum tipis atas kalimat Nosa barusan. "Tidak apa. Ini juga bukan salahmu."

Nosa ingin bangkit, namun begitu ia berusaha untuk menggerakkan tubuhnya, ia tidak mampu. Tenaganya benar-benar tak dapat membiarkannya mengangkat tubuhnya yang lemas.

Suara pintu terbuka terdengar, mengalihkan dua pandangan Bertha dan Nosa. Dokter serta seorang perawat yang baru saja masuk itu nampak sedikit terkejut begitu melihat Nosa yang sudah kembali membuka mata. "Nosa? Sudah sadar?"

Bertha tersenyum ke arah dokter. "Baru saja dokter," jawabnya mewakili Nosa.

Dokter dan perawat berjalan mendekat. Menaruh beberapa peralatan di meja dekat ranjang dan bergerak mengganti cairan infus yang kini hanya bersisa sedikit. "Apa kepalamu masih sakit?"

Nosa mengangguk atas pertanyaan dokter itu barusan. "I-iya."

"Baiklah, kau tetap harus istirahat ya. Lukanya mungkin akan sembuh dua minggu lagi." Sang dokter mengambil suntik, lalu bergerak mendekat ke arah lengan Nosa.

"Sebentar, ya." Sang dokter memegang lengan Nosa, lalu dengan gerakan yang cepat memberikan suntikan obat untuk mempercepat proses penyembuhan luka.

"Karena Nosa sudah sadar, aku akan memberikannya obat yang bisa diminum. Kita tidak perlu memberikannya lewat suntikan lagi," jelas dokter ke arah Bertha. Wanita itu mengangguk paham.

Nosa berusaha menggerakkan pundaknya, berniat bangkit, namun dokter menahannya. "Jangan dipaksakan Nosa. Beberapa sarafmu masih bermasalah dan kemampuan motorikmu masih sedikit terganggu. Tapi jangan khawatir, beberapa hari lagi itu akan segera membaik." Nosa hanya mengangguk singkat.

Life of NOSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang