Sebelum turun dari mobilnya, Bertha sempat melirik ke arah jam tangan. Sadar ini sudah pukul sembilan malam, wanita itu buru-buru bergegas masuk ke dalam rumahnya. Malam itu hujan sedang turun, jadi ia masuk dengan keadaan jaket yang basah sebagian.
Oniks Bertha bertemu dengan presensi Nosa di ruang tengah. Anak laki-laki itu diam duduk bersila di atas sofa sambil memandangi TV yang bahkan tidak menyala.
"Maafkan Ibu makan malam kali ini terlambat. Kau pasti sudah lapar ya? Ibu tadi terjebak macet lalu hujan deras." Wanita itu menggantung jaket, lalu melangkah sembari menenteng plastik belanjaannya menuju dapur.
"Nosa, apa yang kau lakukan di depan TV mati itu?" Bertha melirik dari dapur saat menyadari Nosa belum memberikan respon.
"Ibu membelikanmu steak dan burrito isi guacamole. Makanlah selagi steak-nya masih hangat," ucap Bertha sembari menyiapkan makanan di atas meja makan.
Nihil suara yang keluar dari Nosa, membuat Bertha agak kesal. "Kau dengar Ibu tidak?
Nosa tersenyum kecil dengan tatapan terkunci ke arah TV. "Aku tidak ingin mendengarnya." ucap Nosa kemudian.
Bertha mengernyit samar. Lebih memutuskan kembali menyiapkan meja makan sembari berkata, "Apa yang kau bicarakan? Cepat makan."
"Aku sedang tidak selera."
"Kau ini kenapa? Setidaknya jangan mengalihkan wajah ketika bicara dengan seseorang."
"Itu bukan urusanmu."
"Kau ini bicara apa? Ada apa denganmu?!"
Nosa tidak menjawab. Membuat Bertha kehilangan kesabarannya. "Nosa!"
"APA?!" Nosa balik membentak membuat Bertha tersentak lalu menjatuhkan piringnya. "Kau ini sebenarnya kenapa? Kenapa kau melawan Ibu?!"
Nosa bangkit lalu melangkah mendekati Bertha. "Kau mau menjelaskannya sendiri atau aku yang membongkarnya?"
"Aku tidak mengerti. Kau kenapa tiba-ti—."
"KAU ATAU AKU?!" Bertha terlonjak. Karena tak terima ia kembali membalasnya dengan teriakkan, "AKU TIDAK TAHU MAKSUDMU? KENAPA KAU MEMBENTAK PA—."
"Baiklah. Kau yang minta. Aku akan membuatnya lebih jelas padamu." Nosa memotong ucapan Bertha sebelum wanita itu menyelesaikannya.
"Siapa Ifeloa?" Nosa sadar, ada tatapan yang melebar terkejut. Lebih terlihat seperti tatapan-tatapan orang yang tertangkap basah.
"A-Apa maksudmu?! Ifeloa siapa?" Bertha terlihat menampiknya. Meskipun itu terlihat tak wajar.
"Tidak usah pura-pura. Itu menyebalkan."
"Aku ti-tidak pura-pura. Kau ini kenapa, tiba-tiba bertanya tentang orang yang ak-aku tidak kenal."
"Kau yakin?" Nosa mengeluarkan tatapan tajamnya mencoba mengintimidasi Bertha. Wanita itu sukses menampilkan gestur yang tak nyaman.
"Kau tiba-tiba menentak Ibu lalu sekarang berta—."
"TIDAK USAH PAKAI KATA IBU KALAU KAU SAJA TIDAK MAU MENGAKUI ANAKMU SENDIRI!" Bertha terdiam. Matanya pelan-pelan memerah.
Nosa dengan napas yang memburu kembali menambahkan kalimatnya, "Aku tanya sekali lagi. Siapa Ifeloa? I.FE.LO.A, kau mengerti ucapanku kan?"
Bertha menahan ucapannya. Matanya pelan-pelan berkaca. Sekitar tiga puluh detik terdiam, Bertha akhirnya mengangkat suara. "D-d-dia a-anak angkatku."
Nosa memutar bola matanya malas. Jujur, ia benar-benar muak karena wanita di depannya masih saja berusaha mengelak. "Kenapa di saat seperti ini kau masih saja menyembunyikannya? Huh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Life of NOSA [END]
Bilim KurguNosa menaruh curiga pada tubuhnya. Hal itu berangkat dari sepenggal ingatan yang terpatri permanen di dalam otaknya. Ingatan-ingatan itu terkadang muncul mengambil alih seisi kepala, menjadikannya bukan lagi sosok Nosa yang dikenal. Meskipun baru be...