Tirai langit yang kala itu berkilau panas menusuk, pelan-pelan mulai berubah orange keemasan ketika Joan sampai di rumah dengan ojek online. Begitu langkah kaki Joan menapak pada halaman rumahnya, hal yang pertama kali menyambutnya adalah presensi mobil ayahnya yang kali ini terparkir di waktu yang menurutnya tidak sewajarnya.
Pandang mata Joan memiring heran, dengan gumaman yang samar-samar terdengar, "Tumben Ayah tidak pulang malam." Semacam sugesti membisikinya, jika sepertinya ada sesuatu yang aneh, dan begitu memikirkan tentang adanya kejanggalan dia melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah.
Penasaran tadi tak sia-sia timbul, karena begitu Joan sampai di ruang tengah, dia mendapati Ayahnya yang tengah memasukan beberapa baju ke dalam koper berukuran sedang. "Ayah mau kemana?" tanya Joan menilik ke arah koper.
"Oh, Joan. Sudah selesai kuliahnya?" tanya Ayah Joan dengan sepuntung rokok yang masih menyangkut di sela bibir. Bukannya menjawab, Joan malah mengulangi pertanyaannya dengan dahi berkerut samar, "Mau kemana?"
"Bukan Ayah, tapi kamu." Ayah Joan sadar, ada kening yang berkali lipat makin mengerut ketika ia menjawab. "Aku? Kemana?" masih belum menangkap maksud ayahnya Joan bertanya lagi.
"Dulu bilang mau kuliah di luar negeri."
"Jadi?"
"Kita berangkat sekarang. Ambil barang-barangmu yang mau dibawa." Tubuh Joan tidak bergerak begitu saja saat pinta Ayahnya merasuk telinganya. "Aku masih nggak mengerti."
Joan paham akan helaan napas Ayahnya yang terdengar keluar. "Kamu sendiri yang bilang pengen kuliah di luar negeri, teman Ayah memberikan biayanya."
Ada senyum tak percaya mengembang di sudut bibir Joan, namun perasaan tak masuk akal bercampur aduk mengacak ekspresinya. "Tapi kenapa tiba-tiba?"
"Tidak usah banyak tanya, Ayah tidak mau kau ketinggalan pesawat," timpal Ayahnya agak terburu-buru.
"Tapi kuliahku di sini bagaimana?" tanya Joan lagi, dengan perasaan senang yang sebenarnya pelan-pelan mendominasi.
Ayahnya mematikan putung rokok yang sudah hampir habis ke dalam asbak. "Itu biar Ayah yang urus. Sekarang cepat siap-siap, dua jam lagi pesawatmu berangkat."
Seketika Joan langsung melipir ke kamarnya seraya berkata "Oke." Terlewat senang, Joan sampai tak ingin membuang waktu. Sekitar dua puluh menit berjalan, Joan keluar lagi dengan barang seperlunya untuk dimasukan ke dalam koper yang sudah disiapkan Ayahnya tadi.
"Bukannya ini terlalu mendadak, Yah?" Joan melontarkan pertanyaan lagi sebagai wujud dari perasaan gelisah di dalam dirinya.
"Tidak, Ayo berangkat," tukas Ayahnya begitu ia meraih kunci mobil di atas meja dan langsung melangkah keluar.
Semacam terperdaya dengan rasa bahagia, pikiran Joan seolah-seolah menyapu bersih seluruh pemikiran tentang keraguannya dan langsung meraih koper kemudian melangkah cepat menyusul Ayahnya.
Euan baru turun dari sepedanya saat ia melihat sosok Ayahnya keluar dengan tergesa-gesa lalu masuk ke dalam mobil tanpa menggubris sosoknya. Begitu pandang matanya beralih pada sosok yang baru saja keluar dari balik pintu sembari menyeret koper, Euan bergerak menghalangi kakaknya. "Tunggu dulu, kalian mau kemana?"
Joan memasang senyum bahagia. "Aku bakal kuliah di luar negeri." Tatapan Euan menajam bingung. "L-Luar negeri? T-tapi bagaima—maksudku kenapa tiba-tiba sekali?"
"Aku juga masih belum mengerti, tanya Ayah saja sehabis dia mengantarku. Pesawatku dua jam lagi katanya. Aku harus buru-buru."
Euan masih belum menerima penjelasan kakaknya, berusaha memegang koper milik Joan untuk jangan terlalu terburu-buru. "Kemana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Life of NOSA [END]
Ciencia FicciónNosa menaruh curiga pada tubuhnya. Hal itu berangkat dari sepenggal ingatan yang terpatri permanen di dalam otaknya. Ingatan-ingatan itu terkadang muncul mengambil alih seisi kepala, menjadikannya bukan lagi sosok Nosa yang dikenal. Meskipun baru be...