Satu-satunya orang yang memiliki raut wajah berbeda di dalam keramaiaan mall itu hanya Davina. Dari seluruh orang yang berlalu-lalang di sekelilingnya, cuman ia yang menampilkan wajah murung. Sesekali ia mengalihkan pandangannya pada orang-orang yang berjalan dengan tampang tersenyum, berharap senyuman mereka bisa meracuni rautnya. Namun satu pun tak ada yang berhasil.
Davina berakhir dengan menarik napas panjang sembari duduk di bangku dekat lift. Cepat atau lambat ia harus menemukan jawaban atas hilangnya Aidan. Entah berhasil atau tidak, dia harus mencarinya. Meskipun pada akhirnya ketika ia tidak mendapatkan konklusi apapun, Davina memutuskan menyerahkan diri. Persetan dia bersalah atau tidak, yang jelas ia bisa bertanggung jawab atas hilangnya pacaranya.
Perlahan Davina membuka smartphone-nya. Mencoba mengais-ngais informasi dari internet, darimana ia harus memulai. Begitu tak dapat menemukan apapun, ia hanya menyandarkan punggungnya pada dinding di belakangnya.
Meskipun tak melihatnya, sugesti mengusiknya jika seseorang tengah menatapnya. Begitu ia menoleh, ia menemukan seorang laki-laki yang menghadap ke arahnya. Sontak laki-laki itu langsung berbalik dan langsung berlari. Davina reflek bangkit lalu mengejarnya. Laki-laki itu menggunakan topi hingga menutup wajahnya, membuat Davina tak dapat jelas mengenali wajahnya.
"Hei! Tunggu!" Davina mencoba memanggil. Namun laki-laki tersebut malah menambah kecepatannya. Davina cuman ingin tahu kenapa ia lari darinya. Aneh rasanya laki-laki itu lari tanpa alasan apapun.
Beberapa orang yang berpapasan dengan keduanya sempat melirik mereka aneh. Meski begitu, laki-laki itu berlari hingga hilang di basement.
Davina membuang pandangan ke segala arah, namun ia kehilangan jejak. "Sial. Kenapa dia lari dariku?" gumam Davina di sela-sela napas yang masih memburu.
∞∞∞
Alana sedang melipat pakaian di ruang tengah, saat Kakaknya membuka pintu depan.
"Sudah pulang?" tanya Alana begitu menoleh ke arah Taiga.
"Sudah jelas melihatku di sini, malah bertanya," timpal Taiga seraya melangkah mendekati adiknya.
Mata Alana melirik ketika Taiga menjatuhkan kantung plastik hitam di atas meja. "Makanlah."
"Hmmm... apa ini hasil mencuri?" mata Alana mendelik menyelidiki.
Taiga malah mengembus napas kasar seraya bersandar di punggung sofa. "Apa tidak bisa langsung kau makan saja tanpa bertanya?!"
Alana malah berdecih. "Aku tidak mau."
Tatapan tajam Taiga langsung mendarat ke Alana begitu gadis itu berucap. "Apa maksudmu?"
Alana menghela napas seraya kembali melipat bajunya. "Aku tidak mau makan makanan darimu lagi. Aku sud—akh!"
Taiga langgsung merampas kerah baju adiknya, menggenggamnya erat sembari mendekatkan tatapan berapi. "Kau bedebah tidak usah banyak bicara. Aku mencarinya susah payah. Lalu kau seenaknya bicara begitu."
Raut Alana masih terlonjak. Namun setelahnya, ia menampik tangan kakaknya kuat hingga terlepas. "Kau yang bedebah. Memaksaku untuk makan makanan hasil mencuri. Apa kau bodoh?"
Taiga memutar bola matanya kesal. "Apa yang membuatmu seperti ini? Jauh sebelum ini kau tidak pernah menuntut, kenapa baru sekarang?"
"Aku tidak pernah menuntut bukan berarti aku nyaman."
"Tidak usah banyak gaya. Aku melakukannya agar kau bisa hidup."
"Membuatku bisa hidup? Sedangkan kau saja lebih memilih memberikanku makanan curian daripada memberikanku makan dari tabungan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Life of NOSA [END]
Science FictionNosa menaruh curiga pada tubuhnya. Hal itu berangkat dari sepenggal ingatan yang terpatri permanen di dalam otaknya. Ingatan-ingatan itu terkadang muncul mengambil alih seisi kepala, menjadikannya bukan lagi sosok Nosa yang dikenal. Meskipun baru be...