Bagian V

64 7 0
                                    

Zabrina memandangi stoples kaca bening berisi lilin seputih susu, yang dari sana menguar aroma manis dan menenangkan. Seorang diri, pikirannya kosong barang sejenak. Sejak Wira meninggalkannya untuk berwisata kuliner, suasana menjadi agak canggung. Setidaknya, jika Wira bersamanya, pria itu pasti akan melancarkan guyonan receh yang membuat Zabrina tertawa. 

Zabrina menunduk, kali ini perhatiannya tertuju pada mangkuk es buah. Apalagi yang bisa ia lakukan selain mengaduk-aduk kuah berisi alpukat, es batu, biji selasih, nata de coco, dan lebih banyak alpukat. Wira masih mengingatnya. Ia tahu Zabrina menyukai buah berwarna hijau kekuningan dan bertekstur lembut tersebut, jadi memonopolinya tanpa mengindahkan gunjingan tamu lain.

Omong-omong, apa sebenarnya yang dibicarakan Wira dengan mas Novan? Selagi sibuk menggumam, seorang pria mendekati mejanya. Pria muda berambut klimis, mengenakan kemeja putih dan vest hitam, sedang membawa nampan dengan segelas jus jeruk di atasnya. Segera Zabrina menarik tangan ke pangkuannya saat sang pemuda meletakkan minuman yang dibawanya ke atas meja.

"Maaf, saya tidak memesan apapun," kata Zabrina, dalam hati menuduh, "pasti Wira" sambil mendaratkan lirikan tajam dimana teman kondangannya berada. Namun dugaannya sama sekali salah. Zabrina tercekat saat pegawai katering yang tidak diketahui namanya itu membungkuk, membisik, "dipesan khusus untuk Anda, dari mempelai pria."

Zabrina tercenung. "Terima kasih," hanya itu yang ia katakan setelah terdiam cukup lama. Detik yang sama, pandangannya mengabur, mengantar pikirannya yang melalangbuana. Bola matanya menelisik tanpa nyawa. Perlahan ia mengalihkan perhatiannya dari Wira menuju pelaminan. Hidung dan pipinya memanas- seolah tersengat sesuatu. Pelupuk matanya kian berat, seiring likuid hangat yang melumasi bola matanya mulai tak terbendung lagi. Puncaknya, saat pria muda itu menyelipkan secarik kertas yang dilipat ke bawah gelasnya, Zabrina kehilangan kata-kata. 

"Maaf, hampir lupa. Mas Bastian menitipkan ini untuk Anda," katanya, lalu pergi.

Zabrina menggigit bibir bawahnya yang mulai bergetar. Perasaannya campur aduk. Kira-kira apa yang ingin disampaikan Bastian?

Benda yang ada di tangan Zabrina adalah sobekan kertas kado yang sepertinya disiapkan dengan tergesa-gesa. Zabrina langsung bisa mengenali tulisan tangan Bastian yang meliuk-liuk. Menghela nafas panjang, Zabrina memersiapkan mental. 

"Untuk Zabrina Ananda,

Apa kabar? Sudah berapa tahun, ya? Sebelas? Dua belas?"

Zabrina tersenyum tipis. Walau hatinya remuk redam, rasanya seperti bernostalgia. Lebih tepatnya empat belas tahun, bodoh, koreksinya. Jantungnya berdebar dengan ritme cepat, seakan hendak melompat dari suakanya. Haruskah ia berhenti di sini? Tapi Zabrina sungguh penasaran isi pesannya. Setelah sekian lama terpisah, bagaimana perasaan Bastian saat akhirnya mereka dipertemukan kembali?

"Terima kasih telah datang dan merestui pernikahan kami. Walau rasanya canggung, mengetahui kamu adalah sahabatnya Inggrid. Kupikir kamu juga setuju, jika bukan karena Inggrid, mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi.

Za, kamu masih ingat kejadian di Lab Bahasa waktu itu? Sampai sekarang aku selalu berandai-andai apakah perasaanku padamu akan berbalas. Jika waktu bisa diputar kembali ke hari itu, kamu akan menjawab apa?

Sejujurnya banyak yang ingin kukatakan padamu, karena satu dua kalimat saja tidak akan cukup. Aku lega mengetahui kamu baik-baik saja. Dimana kamu menemukan pria sableng itu? Haha. Maaf, aku hanya bercanda. Terima kasih untuk segalanya, selamanya kamu adalah cinta pertamaku. Maaf, jika kita harus bertemu dengan cara seperti ini...

Sebastian Darmawan."

Zabrina menghela nafas berat. Kegetiran memenuhi mulutnya, bahkan jus jeruk yang dikirim Bastian untuknya terasa amat pahit. Lambat laun pandangannya berlabuh pada pasangan bak raja dan ratu semalam yang sedang berbahagia di pelaminan. Bastian dan Inggrid, mereka tampak serasi dan melengkapi satu sama lain. Zabrina tertunduk lemas. Butir demi butir air tumpah, membasahi punggung tangannya yang gemetar. Pengakuan Bastian membuat segalanya terasa lebih berat. Mengapa ia baru mengatakan itu sekarang? Zabrina menggigit bibir bawahnya. Darah di bibirnya merembes, bercampur dengan lipstik menciptakan gradasi warna merah pekat. Malam itu, Zabrina terisak tanpa suara.

Salah OrderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang