Bagiku, kamu sudah lama mati- tapi siapa yang tahu?
.
.
.
Zabrina termenung. Dalam benaknya berkecamuk banyak hal. Tentang kehidupannya sebagai idola kampus empat tahun silam. Tentang sahabatnya, Inggrid. Pun tentang cinta pertamanya.
Bagi Zabrina, cinta pertama adalah seseorang yang telah lama ditunggunya. Perasaan itu sudah ada jauh sebelum ia bertemu Wira dan tak pernah benar-benar hilang. Di hari ia berpisah dengan cinta pertamanya- sejak saat itulah doa yang sama selalu ia panjatkan: tolong biarkan aku bertemu dengannya walau hanya dalam mimpi. Namanya masih menggema dalam sudut hatinya, walau kapasitasnya memang tak sebanyak dulu.
Cinta yang tak tersampaikan. Impian yang tak mampu direngkuhnya. Zabrina sudah banyak berkisah soal itu dalam diary-nya. Pertanyaan-pertanyaan klise seperti, "masihkah ia mengingatku?" atau "masihkah ia memikirkanku?" dan pamungkasnya, "masihkah ia mencintaiku?" acapkali ditemukan dalam buku bersampul merah tersebut. Nyatanya, tak satupun dari mereka yang terjawab.
Zabrina selalu diberitahu bahwa ia seharusnya melupakan pria tersebut. Sahabatnya selalu berceramah soal "masih banyak pria di luar sana yang jauh lebih baik darinya".
Ya. Kenapa pula ia harus memikirkan orang yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar apapun? Bahkan, Zabrina selalu menekankan dalam hatinya, bahwa barangkali pria itu sudah tidak ada lagi di dunia ini.
Cerita soal cinta pertama ini merupakan rahasia terbesar yang disembunyikannya dari dunia. Tak seorangpun tahu, kecuali sahabatnya, Inggrid. Wanita itu adalah tempatnya berbagi apapun. Sebaliknya, Inggrid pun sangat antusias saat Zabrina membahas soal cinta pertamanya.
"Memangnya siapa yang duduk di pelaminan, sampai kau menyewa agen segala?" tanya Wira, membuyarkan lamunannya.
Karena buru-buru pergi, Wira tak sempat membaca undangan dan hanya membawa kartu nama sang klien. Zabrina menatap pria yang sedang mengemudi dari kaca spion, lalu mengoper kartu undangan yang sudah dibukanya ke kursi depan.
Wira melirik dari ekor matanya. Membaca sekilas nama kedua mempelai yang tertulis di sana.
"Sebastian Darmawan- bukannya dia cinta pertamamu?"
Zabrina tercekat, menatap tajam sang pria.
Bagaimana- baiklah, mungkin selain Inggrid, aku juga pernah memberitahunya, pikir Zabrina.
Keduanya beradu pandang lewat kaca spion. Mata Wira menyipit- mengindikasikan bahwa pria itu sedang menyeringai. Menggumam, "sepertinya aku benar" dengan bangga.
Tapi, Bastian bukanlah alasan Zabrina mesti repot-repot menyewa agen untuk menemaninya ke resepsi. Perlahan wanita berambut hitam itu menarik kembali undangannya. Mendekapnya dalam pangkuan, lalu membukanya.
Inggrid Putri Anastasia dan Sebastian Darmawan- adalah nama yang tercantum di sana.
Zabrina menghela nafas panjang. Mendongak, mencegah cairan hangat mengalir dari pelupuk mata dan menghancurkan make-up nya yang sempurna. Zabrina mengalihkan pandangan pada jendela di sampingnya lantas membukanya. Menyaksikan mentari perlahan lengser dari singgasananya. Cahayanya yang kemerahan memberkas di wajahnya yang pucat, sedangkan air matanya yang merintik tampak berkilauan. Embusan angin membelai rambutnya, bersiul sendu.
Seminggu sudah sejak undangan itu datang dan ia masih dilanda kebimbangan apakah harus datang atau tidak. Tapi Inggrid sudah seperti saudarinya sendiri. Tak ada alasan untuk tidak datang, pikirnya. Lagipula ia datang bukan demi Sebastian, tapi Inggrid. Jadi, ia menguatkan hatinya dan memutuskan memenuhi undangan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Order
Любовные романыDemi menghadiri resepsi pernikahan sahabatnya, Zabrina menyewa seorang agen dari aplikasi online. Alih-alih mendapatkan pria sesuai kriteria yang diinginkan, ia justru dikejutkan oleh kedatangan Wira, mantan kekasihnya yang merupakan bos dari perusa...