Bagian VI

70 9 4
                                    

Rintik hujan membasahi kawasan alun-alun Sidoarjo dan sekitarnya, termasuk gedung dimana sebuah resepsi pernikahan sedang dihelat. Beberapa mobil dan sepeda motor masih tampak terparkir di tempatnya. Sebuah SUV silver metalik baru saja melewati gerbang berportal dan melesat ke jalanan beraspal. Setelah itu hening menyergap. Tidak ada tanda-tanda makhluk hidup lain yang tertangkap indra penglihatan Wira. Tidak ada notifikasi pesan masuk maupun missed call atas nama sang klien, Zabrina. Berkali-kali sudah Wira mencoba menghubungi teman wanitanya itu, namun seperti yang bisa ditebak, hasilnya nihil.

Hampir saja Wira menyerah dan berbalik ke ruang pesta ketika matanya yang tajam bagai elang menangkap sebuah pergerakan di samping gedung. Terdapat jalan setapak dengan sedikit naungan yang melindungi pejalan kaki dari derasnya hujan. Tempat itu sedikit remang, tertutup papan-papan karangan bunga, hingga tak seorang pun mengira seorang wanita sedang meringkuk sendirian di sana.

Target terkunci. Menghela nafas panjang, dengan hati-hati Wira berjingkat mendekati sang wanita. Zabrina dalam posisi berjongkok, sedang wajahnya tertelungkup dalam lipatan tangan. Kendati meragu wanita itu menyadari keberadaannya, Wira tetap memilih menemaninya di sisinya.

Wira mengopi semua gerakan Zabrina, mulai dari posisi tubuh hingga kepala dengan lucu sambil terus menatapnya seperti seorang balita. Zabrina menangis. Wira sangat yakin itu. Walau rambut panjang wanita itu menjuntai kedepan menutupi wajah. Walau hujan yang jatuh dari langit memukul-mukul atap dengan berisik menghalau pekiknya.

Wira mengulurkan tangan kanannya, berusaha meraih surai Zabrina, namun mengurungkan niatnya detik kemudian. Daripada menanggung risiko didamprat karena sok romantis di saat yang tidak tepat, Wira mencoba alternatif lain. Ia akan melakukan keahliannya.

Pria jangkung itu bergeming. Memangkas jarak beberapa sentimeter, sambil membuat bunyi-bunyian demi menunjukkan eksistensinya. Ia mendehem. "Ah, tambah deras, deh."

Tangis Zabrina berhenti. Kepalanya terangkat sedikit, walau ia masih enggan menampakkan keseluruhan wajahnya. Wira bersiap melancarkan kalimat kedua ketika sang wanita justru bergeser ke sisi sebaliknya, membuat jarak diantara mereka bertambah.

"Aku tidak pandai membaca hati wanita- entah itu artinya kau kedinginan atau sedang tidak ingin diganggu. Jadi, terima saja," kata Wira. Pria itu melepas jasnya dan memakaikannya paksa pada Zabrina. Masa bodoh walau ditolak, toh ia tetap akan melakukannya.

Aroma parfum yang tertinggal di jas Wira menguar, menyelimuti tubuh Zabrina sepenuhnya. Ini musk yang sama yang ia kenal. Rasanya hangat dan menenangkan, seolah pria itu sedang memeluknya erat. Meski tidak pernah mengakuinya karena akan membuat Wira besar kepala, namun Zabrina suka saat Wira berada di dekatnya.

"Padahal sedang ada pesta di sini, tapi langit malah menangis," celetuk Wira dan itu membuat wanita di sebelahnya tercekat.

Zabrina mendongak, menatap petik demi petik air yang jatuh dan tersorot lampu-lampu jalan. Langit seolah merefleksikan suasana hatinya. "Aku menyayangi Inggrid," ungkap Zabrina tiba-tiba, selagi mengusap sudut matanya.

Wira bertopang dagu, kakinya mulai kesemutan. Memandang kosong pada lalu lintas di seberang jalan, sambil setengah melamun. "Ya, aku tahu," jawabnya.

"Bastian juga."

Wajah sang pria berubah masam. Mendecak, merespon ketus, "ya" sambil memutar kedua bola matanya jengah. Ah, sial. Kenapa namanya disebut-sebut lagi, sih?!

"Menyedihkan, bukan? Seharusnya aku berbahagia untuk mereka, bukannya mengasihani diri sendiri seperti ini." Zabrina tertawa, lalu mengutuk dirinya sendiri. Itu adalah momen canggung pertamanya dengan Wira.

Keheningan melingkupi sesaat. Tak satupun dari mereka berbicara, hanya suara hujan yang mengetuk-ngetuk genting- menciptakan rimanya sendiri. Wira mendehem, meluruskan kakinya yang panjang bergantian sebelum kembali pada posisi semula.

Salah OrderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang