Bagian III

99 10 0
                                    

Akhirnya aku menemukanmu- tapi bukan pertemuan semacam ini yang kuinginkan.

.

.

.

Wanita muda bergaun hijau tercenung segera setelah menginjakkan kaki di ruang resepsi. Bukan karena tirai bernuansa wisteria merah jambu-putih yang menyambut kedatangannya dan para tamu undangan. Bukan pula karpet semerah darah di bawah kakinya- yang menghampar hingga ke panggung pelaminan. Pun penambahan Cecile Burner(1) pada guci dan meja-meja yang menimbulkan kesan manis nan elok. Bukan itu semua. 

Perhatian Zabrina tertuju pada sosok sahabatnya, Inggrid. Wanita itu nampak begitu anggun dalam balutan kebaya putih dengan ekor yang menjuntai hingga ke belakang sepatu hak tingginya. Tangan kirinya menggenggam sebuket mawar putih, sementara tangan satunya merangkul lengan pria di sebelahnya.   

Perlahan Zabrina melabuhkan pandangannya pada sang mempelai pria. Detik yang sama, lidahnya terasa kelu- walau hati masih sangat fasih mengeja namanya. 

Bastian, jadi itu benar kamu.

Rasanya seperti mendapat serangan jantung mendadak. Zabrina tak bisa mendengar apapun- walau biasanya keramaian dan lantunan musik pesta hampir membuatnya tuli. Pandangannya perlahan mengabur, tak merespon saat Wira menyentuh bahunya. 

Sakitkah? Ah, ia bahkan tak yakin lagi bagaimana rasa sakit itu sendiri. Zabrina hanya merasa kosong- seolah kegelapan berhasil menyedot semua sari-sari kehidupan dalam dirinya. 

Inikah rasanya melihat pria yang dinanti selama belasan tahun menjadi pengantin orang lain?- dalam hati ia bertanya. Wanita itu mematung sesaat hingga sebuah suara membangkitkan kesadarannya.

"Zabrina, sebelah sini!" 

Zabrina menelan ludah dengan susah payah. Inggrid melambai ke arahnya. Mengatupkan bibir rapat-rapat, dengan langkah canggung Zabrina menghampiri panggung. Sementara Wira mengekor di belakangnya, sambil matanya menatap lekat pria berbalut setelan putih tulang yang diklaim Zabrina sebagai cinta pertamanya.

Wira mendecih. Apa yang begitu spesial dari pria ini? pikirnya.

Sebastian adalah pria berusia pertengahan dua puluh tahun. Tanpa kumis dan cambang di wajah. Kulitnya putih bersih. Matanya kecil namun lentik. Hidungnya mancung dengan ujung agak bulat. Bibirnya begitu mungil dan menghasilkan lesung pipi saat tersenyum. 

Oke, ia cukup menarik, gumam Wira kesal- menemukan bahwa Bastian adalah tipikal ideal cinta pertama semua wanita. 

"Za..." Bastian menggumam- tak sanggup menyelesaikan kalimatnya dan mendehem kikuk. 

Zabrina menunduk cepat-cepat. Berniat melewatkan Bastian dan langsung menyalami Inggrid. Sejak Inggird masih sibuk mengobrol dengan tamu lain, jadilah ia mematung di tempatnya- di depan Bastian dengan kecanggungan yang luar biasa.

Seharusnya ini menjadi momen indah yang paling ditunggunya- karena akhirnya setelah sekian lama mereka pun bertemu. Namun kenyataannya, tak secuilpun sinar memendar di mata keduanya. Bagi Zabrina kini, pertemuannya dengan Bastian hanyalah momen menyesakkan yang sebisa mungkin ingin dihindarinya.

Bagaimana kabar hatinya? Tidak usah ditanyakan lagi. Ia sudah hancur berkeping-keping, tertiup angin dan hanya menyisakan satu ceruk dalam yang akan membuat seseorang berpikir bahwa tadinya ada 'sesuatu' di sana. 

"Selamat ya, Bas," ungkap Zabrina, memberanikan diri untuk melihat wajah Bastian- walau masih enggan menatap langsung pada bola matanya.

Bastian mengangguk. Membalas, "lama tidak bertemu" sambil menarik senyum singkat. 

Salah OrderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang