Bagian VII [S2]

16 1 0
                                    

Seminar nasional bertema Ekonomi Kreatif yang diselenggarakan pada pagi hari itu dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari ekonom, pelaku bisnis, akademisi, hingga masyarakat awam. Ruang meeting yang bertempat di salah satu hotel berbintang tiga di Surabaya Barat tersebut terbilang cukup nyaman-- kursi empuk berbalut satin, udara sejuk dari mesin pendingin, dekorasi elegan nan cantik-- membuat Zabrina tak kuasa menjaga kelopak matanya tetap terbuka. Seolah semua fasilitas ini disiapkan demi mengantarkan sukmanya ke alam mimpi.

Mendongak, Zabrina memandangi lampu gantung kristal di atasnya. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah benda itu akan langsung copot dan menimpanya saat terjadi gempa atau tetap bertahta di tempatnya. Zabrina mendengus, menyesali keputusannya untuk bangun pagi-pagi, bersolek lalu datang mendengarkan ceramah yang ia bahkan tidak mengerti. Zabrina tahu ia selalu bisa pergi kapan saja, menghabiskan waktu akhir pekannya yang berharga dengan kegiatan yang lebih disenanginya-- tapi tidak dilakukan. 

Selagi menjabarkan materi, acapkali sang narasumber kedapatan mencuri-curi pandang ke arah Zabrina. Pria jangkung berbalut kemeja Batik Madura dan sepatu kets itu tersenyum, bergerak turun dari panggung dan perlahan menuju kursi-kursi peserta. Dilihat dari gelagat, ditambah tatapannya yang begitu intens, jelas sekali bahwa ia sedang bergerak ke arah Zabrina.

Jangan ke sini... Jangan ke sini...

Zabrina mundur hingga punggungnya menempel pada sandaran kursi. Berusaha menghindari kontak mata, walau tak sanggup mengontrol debaran jantungnya yang menggila. Ketika ia berpikir akan menjadi korban dari kuis dadakan, pria berpotongan rambut cepak yang sedang berdiri itu mengangkat sebelah alisnya. 

Setelah puas memandangi wajah panik pasangannya, sambil menyungging senyum, pria yang bertindak sebagai invited speaker tersebut melengos ke gang kursi sebelah.

Mengetahui itu, kelegaan yang sesaat lalu bersemayam di hati Zabrina berubah jadi dendam kesumat. Andainya Wira benar menghendaki interaksi dengan dirinya, mana mungkin ia menjawab sesuatu dari materi yang tidak pernah disimak dengan baik?

----------

Harum biji kopi menyebar ke setiap sudut kantor Agen Kondangan yang bertempat di salah satu ruko di Jalan MERR Surabaya. Membaur bersama aroma tinta dan kertas yang baru keluar dari mesin pencetak. 

Pintu depan terbuka, menampilkan sesosok manusia berjas rapi yang sedang menghirup nafas dalam-dalam. Bibir menyeringai lebar, seiring hormon dopamin yang mulai diproduksi dalam tubuhnya.

Meletakkan kunci mobil ke atas meja kayu bundar, pria muda yang merupakan salah satu agen tersebut duduk di salah satu kursi tamu. Menyandarkan punggungnya yang kelelahan, sementara dua bola matanya tak jemu memerhatikan aktivitas wanita berkemeja putih yang sedang menyeduh kopi di pantry

"Mas Wira belum balik?" tanya Hans, menelan saliva yang menggenang dalam mulutnya-- selagi mencari-cari sesuatu yang segar untuk diminum.

Meta, staf administrasi yang job desk-nya melebihi sekretaris pribadi direktur, berbalik badan menghadap sang pria. Mengaduk-aduk isi cangkir sambil sesekali meniup-niup permukaan likuid gelap di dalamnya, ia menggumam, "kencan."

"Kencan? Tapi, bukannya--" Hans terkekeh. Semua karyawan, termasuk dirinya tahu jika hari ini adalah jadwalnya sang eksekutif muda Agen Kondangan tersebut untuk menghadiri seminar dari kampus almamaternya. Namun, jawaban Meta barusan sama sekali di luar ekspektasinya. 

Kencan, katanya? Heh.

Hans mendengus, menerima operan botol air mineral dari rekan kerjanya sebelum lanjut mengoceh. "Orang aneh mana yang membawa kekasihnya nge-date ke acara seminar?"

"Ya orang seperti bosmu."

Mengerjap, mata Hans bertabrakan dengan milik Meta. "Bosmu itu."

"Bos kita."

"Iya, deh." 

Tanpa bersuara lagi, keduanya menenggak minuman mereka masing-masing dalam waktu bersamaan. 

----------

Suara mirip babi itu terdengar lagi. Pertama saat ketua departemen memberikan sambutan, lalu sekarang, saat moderator mengoper mic kepada salah satu peserta dalam sesi tanya-jawab. Pria yang sejam lalu menggebu menggelontorkan rentetan kalimat motivasi kepada calon-calon entrepreneur muda, bisa-bisanya sekarang molor saat giliran orang lain yang berbicara.

"Ngok... Ngok..."

Zabrina menoleh ke samping kanan-kiri, saat sebuah kepala jatuh di atas bahunya. Mendehem, wanita berbalut blus motif bunga menggeliat menggeser kursinya-- membuat Wira oleng seketika dan langsung tersentak bangun.

"Ha-- ya? Apa? Sudah selesai, ya?" 

Wira mengerjap dan mengangguk-- bergimik sok serius, seolah ia terus menyimak sedari tadi. Membenahi posisi duduk, sambil tangannya mengusap jejak air di sudut bibir dan pipinya. Meregangkan kedua tangan, saat pandangannya bertabrakan dengan milik Zabrina.

"Kau bilang akan mentraktirku makan, 'kan? Kenapa kita malah ke sini?" 

Tubuh Wira perlahan melorot dari kursi, bersiap-siap tidur lagi ketika pemakalah selanjutnya naik ke atas panggung. Sambil memandang wajah teman wanitanya yang sudah mirip Ikan Fugu, menjawab santai, "undangan ini datangnya mendadak dan aku tidak bisa membatalkan rencana kita, jadi mengapa tidak melakukan keduanya?"

Melipat kedua tangan di atas dada, Zabrina menyipit. "Aku merasa sedang ditipu."

"Dimana ada seminar di situ ada prasmanan, jadi secara teknis aku sedang menepati janjiku padamu," Wira berdalih walau mimik wajah wanita di sampingnya sudah sangat siap menerkam. "Lagipula, siapa yang butuh agen saat aku memiliki pendamping sungguhan. Itulah fungsimu berada di sampingku, sayang."

Wira berniat membelai rambut Zabrina saat tangannya ditepis mentah-mentah. Menolak canggung, pria itu melipat kedua tangan di belakang kepala. Sikapnya yang serampangan seolah ia sedang duduk santai menikmati deburan ombak di tepi pantai.

"Wir, aku serius! Aku mau... ada yang harus kita bicarakan." Zabrina menunduk, meremas kedua tangan di atas pahanya dengan gugup. "Dan ini penting."

"Katakan saja."

"Mana mungkin! Di tempat seperti ini? Bagaimana cara--"

Zabrina menoleh, tercekat. Wanita berambut panjang yang diikat ekor kuda itu belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Wira menarik kursi yang didudukinya merapat ke arahnya. Cukup dekat hingga Zabrina bisa merasakan embusan nafas pria itu menggerakkan poni yang menjuntai di pelipisnya. 

"Semua bisa diatur. Katakan saja."

Rona merah merambat di tulang pipi sang wanita. Zabrina tidak berani menangkap mata lawan bicaranya. Aroma musk yang menguar di sekitar leher Wira memabukkan, memaksa sang wanita menahan nafas. 

Zabrina mendehem. Berbisik, "a-ayo pulang. Kita bicara di rumah."

Wira mendecak saat teman kencannya tiba-tiba beranjak dari kursi dan meninggalkan ruangan lewat pintu belakang. Pria yang ditinggalkan celingukan di kursinya dengan canggung. Menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sambil menggeram.

"Tapi, kita 'kan belum mak-- hei, halo! Nona! Honorku juga belum cair, nih! Zabrina!" 

Buru-buru mengambil tasnya, Wira menyusul teman wanitanya keluar ruangan.






Bersambung...




----------

A/n

Halo! Menyambut harlahnya Zabrina, ini dia season kedua dari main couple Salah Order. 

12/07/2024

labellaatrix

Salah OrderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang