Part 9

1.3K 84 2
                                    

#AKU_TIDAK_SELINGKUH

Part 9

Celotehan Ica dan sahutan polos Raka, kuanggap hanya sebagai ocehan bocah yang 'tak bermakna. Karena memang nyatanya mereka tidak mengerti apa arti dari kalimat yang mereka ucapkan.

Waktu seolah menjadi angin yang sedikit demi sedikit menerbangkan asap kepedihan yang kurasa. Perlahan, luka itu mulai mengering, meski belum sempurna. Kepasrahan mampu membuatku mulai berdamai dengan keadaan. Doa dan harapan terbesarku untuk saat ini adalah bisa bertahan dan bangkit dari bayang masa lalu.

Hingga saat kepulangan Mas Bara kembali ke tanah air tiba.

Dia sudah memberitahuku bahwa kami akan mengurus akta cerai ke Pengadilan Agama yang berada di Kabupaten, saat dia kembali.

Kali pertama, kedatangannya ke rumah tidak membuat senyumku terkembang. Hanya segaris lengkungan tipis, sekadar basa-basi di depan Emak dan Raka. Kami berbincang sebentar.

"Ka, mau ikut ayah nyobain nginep di hotel enggak?" tanyanya pada Raka yang menggelendot manja pada tangannya.

"Mau, Yah. Sama Ibu gak?" Raka antusias menjawab. Kemudian ayahnya menjelaskan hanya dia dan Raka saja.

Selama mengurus perceraian ini, Mas bara memang menginap di penginapan dekat dengan Pengadilan Agama, tempat kami melaksanakan sidang. Raka dibawanya menginap satu malam, setelah ketuk palu Hakim menegaskan status pernikahan kami. Hak asuh serta rumah Mas Bara serahkan padaku.

Tidak ada lagi air mata kuteteskan di depannya. Kering sudah.

"Kamu kurusan, Dek," ujarnya saat kami makan bertiga di sebuah warung bakso favorit Raka. Sebelum Mas Bara pulang ke Sleman. Dia kembali memanggilku Adek, setelah kami resmi bercerai.

"Mungkin, aku gak pernah nimbang," jawabku santai. Inilah pertama kalinya kami berbicara santai, sejak dia datang dari Jepang.

"Jangan terlalu capek, kamu itu gampang sakit. Makan juga yang teratur, jangan begadang juga," katanya seraya menatap wajahku serius.

"Hemm," gumamku sambil kembali menyendok bakso, bersikap sedatar mungkin. Toh, kami memang bukan siapa-siapa lagi. Debar itu perlahan memudar.

"Kasian Raka kalau kamu sakit, siapa yang ngurus?" lanjutnya tanpa mengalihkan pandangan dari wajahku. Fokusku tetap pada mangkok bakso yang masih mengepulkan asap.

"Ayah, kenapa gak tidur di rumah lagi?" tanya Raka dengan polos. Membuatku tersedak. Mas Bara langsung menyodorkan gelas berisi es jeruk padaku. Kuterima dan langsung meneguknya.

"Ayah mau ke Jawa dulu, ke rumah Eyang, Ka," jawab Mas Bara sambil melirik ke arahku.

Raka hanya ber-oh ria, sepertinya dia tidak terlalu penasaran.

"Apa Ibu sudah tau, Mas?" tanyaku seraya meletakkan kembali gelas di meja.

"Belum. Nanti aku langsung jelaskan di sana, kamu tidak usah menghubunginya," tegasnya yang membuat emosiku ingin meledak rasanya.

"Kenapa aku tidak boleh bicara dengan Ibu? Walau bagaimana pun dia tetap eyangnya Raka, kan?"tanyaku heran. Seolah aku ini hina, walau hanya sekadar menyapa atau meminta maaf pada mantan mertuaku.

Mas Bara tertunduk, saat aku menatapnya tajam. Aku sangat menyayangi beliau, wanita luar biasa yang berhati lembut. Aku tidak mengerti apa maksud Mas Bara.

"Pokoknya jangan," tukasnya tanpa melihat wajahku.

Kuletakkan sendok dengan kasar di mangkok yang berisi sisa bakso itu. Hilang sudah nafsu makanku. Raka tampak 'tak acuh, ia sepertinya sangat menikmati bakso itu. Mas Bara menghela napas, menatapku kemudian dengan lekat, tanpa kata.

Pinggan Retak (Aku tidak Selingkuh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang