Part 5

1.3K 74 0
                                    


#AKU_TIDAK_SELINGKUH

Tidak Percaya

Part 5

Mas Bara tidak memberi kabar sejak pergi siang tadi. Jika kutanyakan keberadaannya, takut akan membuatnya semakin marah. Mungkin dia hanya ingin menenangkan diri, akan kuberi waktu untuk sendiri.

Pukul delapan malam, aku masih berada di kamar Raka. Membantunya menyiapkan peralatan sekolah untuk besok.

"Bu, Ayah belum pulang?" tanyanya sambil memasukkan sebuah buku ke dalamtas.

"Belum, Ka," jawabku sambil tersenyum.

"Hmm ... padahal ada yang aku ceritain ke Ayah. Biasanya kalau pergi ke luar, tidak lama kayak gini, ya, Bu?" lanjutnya.

"Mungkin Ayah ada urusan di luar, Ka. 'Kan seminggu lagi Ayah akan berangkat lagi ke Jepang," jelasku. Tidak ingin bila anakku berpikiran bila ayahnya sedang tidak ingin di rumah.

Raka benar bahwa Mas Bara biasanya lebih suka menghabiskan waktu bersama kami. Baik itu hanya bersenda gurau di rumah seharian atau pergi jalan-jalan bertiga. Mas Bara selalu bilang bahwa waktu yang berharga untuknya adalah saat bisa berkumpul dan menghabiskan waktu bersama keluarga.

Lalu sekarang? Dia bahkan tidak memberiku kabar keberadaannya.

.

Pukul sepuluh malam, kulihat lagi aplikasi chat. Tidak ada pesan masuk. Kutelepon saja, daripada harus merasa cemas.

Nada sambungan telepon terdengar. Tidak diangkat.

Pesan chat masuk dari Mas Bara kemudian.

[Aku nginap di rumah Romi.]

Satu chat masuk kemudian.

[iya. Aku nelepon karena khawatir, Mas.] send dan langsung dibaca.

Namun, tidak ada balasan.

Kutarik napas. Doa dan istighfar silih berganti kugumamkan. Meski masih merasa sesak, tapi ada ketenangan. Setidaknya Mas Bara di tempat saudaraku.

Membaringkan tubuh di kasur, kemudian mengusap tempat biasa Mas Bara berbaring. Tanpa aba-aba, air mata luruh begitu saja.

Malam kemarin, tempat tidur ini menjadi saksi. Bahwa kami saling memiliki satu sama lain. Merasa bahwa tiada yang mampu memisahkan. Tidak terpikir, bahwa siang hari akan ada perselisihan. Hidup memang misteri.

Teringat suatu ketika, aku pernah bertanya.

"Mas, apa yang paling kamu takutkan dalam hidup ini?" tanyaku seraya mengelus permukaan rahangnya yang ditumbuhi rambut itu. Mas Baraku, tampak lebih maskulin dengan penampilannya setelah membiarkan rambutnya sedikit panjang dan wajahnya dibiarkan ditumbuhi rambut.

Dia menengadah. Tangannya masih merangkul bahuku.

"Aku tidak takut hidup susah, karena sudah pernah mengalaminya dan aku terbukti mampu bertahan. Aku juga tidak takut badai atau kematian sekali pun, karena semua orang pasti akan menghadapinya," jawabnya seraya mengecup puncak kepalaku.

"Lalu?"

"Aku tidak akan pernah siap, jika mendapat pengkhianatan. Karena jika aku mendapat pengkhianatan, itu artinya aku 'tak memiliki harga diri dan arti hidup. Bagiku, tidak ada tempat bagi seorang pengkhianat dalam hidupku," tukasnya dengan wajah serius. Kini matanya menatap lekat ke netraku.

Aku sangat paham, bagaimana perasaannya yang harus tertatih bertahan hidup setelah sang Ayah pergi dulu. Meninggalkan tanggung jawab pada keluarga, demi wanita lain.

Kuelus dadanya yang telanjang, kemudian menenggelamkan wajah di sana. Menikmati kehangatan tubuh serta aromanya yang selalu mampu memberikan rasa damai dan aman di hatiku.

"Semoga Allah menjauhkan kita dari godaan yang bisa memisahkan kita, ya, Mas," sahutku.

"Aamiin," ucapnya.

Dia mempererat pelukan. Hingga kami terlelap, kelelahan setelah pergumulan.

.

Air mata malah berderai semakin deras. Mengingat setiap moment yang telah kami lewati. Dari mulai berjuang menghadapi masalah keuangan, sama-sama menahan gelora rasa rindu yang menggebu yang terpisah jarak, hingga saat-saat manis yang membuatku merasa menjadi wanita paling bahagia di muka bumi.

Sebuah panggilan telepon masuk, dari Romi.

"Teh, Mas Bara ada di sini. Katanya dia mau menginap."

"Iya, Rom. Tadi dia sudah bilang ke teteh," ujarku sedatar mungkin.

"Mmm ... maaf, Teh. Sepertinya kalian sedang ada masalah, ya?" tebak Romi dengan nada ragu.

Romi adalah saudara sepupuku. Dia memang cukup dekat dengan Mas Bara. Rumahnya berada di luar kecamatan. Untunglah Mas Bara tidak pergi ke tempat yang tidak jelas, untuk mencari ketenangan.

"I-iya, Rom," jawabku terbata.

"Ooh, pantas saja. Dari sejak datang, Mas Bara lebih banyak diam, Teh. Dia terlihat murung," ujar Romi.

Aku terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Sebagai sesama lelaki dan juga seorang suami, Romi pasti sudah bisa menebaknya.

"Ya sudah, Teh. Aku cuma mau ngabarin aja, takut kalau Mas Bara belum kasih tahu," tukasnya kemudian menutup telepon.

Apakah masalah ini begitu serius?

Jika iya, apa yang harus kulakukan? Penjelasan sudah kuberikan. Harusnya dia percaya, pada istrinya sendiri. Bukan pada deretan foto yang entah siapa pengirimnya.

Jika para istri di luar sana harus berjuang mempertahankan suami dari godaan para pelakor, dan berusaha untuk selalu percaya pada suami, maka aku sebaliknya. Berusaha agar suamiku percaya dan tidak berpikir bahwa aku selingkuh darinya.

Setiap keluarga pasti memiliki masalahnya masing-masing. Mungkin inilah yang kini menjadi masalah rumah tangga, yang harus kuhadapi dan mencari solusi. Agar ikatan yang telah terjalin ini, tidak terurai dan lepas begitu saja.

.

.

Hari ini aku sengaja meminta izin untuk tidak mengajar. Berharap jika Mas Bara akan menyelesaikan kesalahpahaman yang kemarin terjadi.

"Mas!" panggilku, saat dia masuk ke kamar. Aku sedang membereskan tempat tidur pagi ini.

Dia 'tak acuh.

Setelah menaruh helm dan kunci motor, dia masuk ke kamar mandi yang masih berada dalam kamar kami. Kusiapkan baju yang akan dipakainya di atas kasur, seperti biasa.

Mas Bara keluar dari kmara mandi memakai handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya, berjalan menuju lemari dan membukanya. Hanya melirik sekilas pada pakaian yang telah kusiapkan. Kaos dan jeans selutut diraihnya. Kembali masuk kembali ke dalam kamar mandi.

Kuhempaskan tubuh di atas sofa. Melihat sikap dinginnya, yang seolah enggan menatap wajahku... sakit.

Kuhampiri dia, saat baru saja membuka pintu kamar mandi.

"Mas, bicaralah. Bila kamu marah, marahlah. Jangan diamkan aku seperti ini," lirihku sambil memegang pergelangan tangannya, mencegah dia pergi.

Mata sayu tanpa semangat menatapku sebentar, kemudian memalingkan wajahnya.

Kami berjalan menuju sofa. Rambutnya masih basah setelah keramas.

Kuambil handuk kecil yang dipegangnya, kemudian mengusapkannya di kepala Mas Bara. Dia tidak menolak. Wangi sabun dan shampoo yang menguar dari tubuhnya, membuatku refleks memeluknya dari belakang sambil menghirup aroma yang selalu kusuka, kemudian menyandarkan kepala di punggungnya yang lebar.

Dia membalikkan tubuhnya, membuatku melepas pelukan.

"Bicaralah," ucapnya dengan lembut.

Aku tersenyum. Priaku kembali.

****

Pinggan Retak (Aku tidak Selingkuh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang