Part 15

1.6K 64 0
                                    

#AKU_TIDAK_SELINGKUH

#PINGGAN_RETAK

Part 15

Ibunya Pak Reza mengambil sebuah kotak kecil dari tasnya, kemudian membuka. Dia mendekat dan memasangkan sebuah cincin putih polos di jariku.

"Semoga kalian memang berjodoh, Nak. Reza benar-benar mengharapkanmu," ucapnya seraya memelukku. Senyumnya sangat menawan, meski kini wajahnya basah oleh air mata.

"Sekarang Nak Alya dan Reza sudah terikat tali pertunangan. Kalau tentang pernikahan, papah serahkan keputusan pada kalian berdua untuk merencanakannya kapan. Tapi, ini hanya saran papah, kalau bisa jangan ditunda-tunda, karena kasian Reza udah lima tahun puasa ... hahaa ...." Tawa kembali menggelegar memenuhi ruangan dari semua orang, kecuali aku dan ... Pak Reza. Kulirik wajahnya tampak memerah. Sepertinya dia dan papahnya memang berbeda.

.

Kini kami semua telah duduk lesehan di karpet, menikmati makan malam sederhana yang telah aku dan Emak siapkan.

"Maaf banget ya, Pak, Bu, hidangannya sederhana dan mungkin rasanya gak seenak di kota," tutur Emak.

"Gak, Besan. Ini malah istimewa buat saya. Menunya belum tentu bisa saya nikmati setiap hari, apalagi karedok ini, bikin nagih," sahut mamahnya Pak Reza sambil terkekeh. Kemudian dibenarkan oleh suaminya.

"Ah, bisa saja Ibu ini. Karedoknya Alya yang bikin, sayurannya dipetik tadi pagi dari kebun," jelas Emak. Membuatku merasa malu saja.

Pak Reza dan kedua orang tuanya langsung melihat ke arahku sambil tersenyum. Ah, malunya.

"Bunda, besok 'kan hari Minggu, boleh kan Bang Raka ikut Ica ke Jakarta?" tanya Ica, membuatku bingung. Aku hanya bisa menggigit bibir, tidak tahu apa yang harus dikatakan, karena Raka malah ikutan merengek.

"Oh, Raka mau jalan-jalan ke Jakarta, Nak?" tanya neneknya Ica. Raka mengangguk malu-malu.

"Ya sudah, besok ikut kita saja sekalian pulang. Nanti di sana nenek ajak jalan-jalan, ya?" lanjutnya sambil tersenyum ke Raka. Aku harus bagaimana?

"Emak sama Alya ikut juga lah, nanti saya juga mau ikut. Biar rame," dukung Oma. Pak Reza menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Tanpa menunggu jawaban dariku, mereka semua sepakat untuk berangkat pagi-pagi ke Jakarta. Emak yang tadinya punya reencana akan memupuk padi di sawah, sampai membatalkannya.

"Saya mau tau Jakarta, Oma," katanya sambil terkekeh. Tidak tahukah Emak, aku ... bingung.

.

.

"Nanti saya telepon, ya?" kata Pak Reza sebelum melangkah turun dari teras mengikuti keluarganya untuk pulang ke rumah Oma. Aku hanya mengangguk.

Canggung, malu, sekaligus takut. Entah ini wajar atau tidak, mengingat statusku yang bukan lagi anak ABG atau gadis yang baru pertama kali mendapat lamaran dari seorang pria. Tapi, kalau dilihat lagi, Pak Reza juga sepertinya tidak jauh berbeda denganku. Ah, debar ini benar-benar tidak baik untuk jantungku.

"Teh, HP Teteh gak aktif, ya?" tanya Romi, saat aku membereskan piring di atas meja.

"Ah, iya. Teteh lupa, dari tadi siang gak ngecek HP, sepertinya batreinya habis," jawabku.

"Barusan Mas Bara telepon, Teh," ujar Romi, membuat gerak tanganku terhenti.

"Lalu?" tanyaku pada Romi.

"Romi bilang kalau Teteh sedang dilamar," jawabnya yang membuatku mematung. Tapi biarlah, nanti cepat atau lambat juga dia akan tahu.

"Oh, ya udah. Nanti teteh cek HP," tukasku kemudian. Romi pun pamit pulang.

Pinggan Retak (Aku tidak Selingkuh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang