📎P R O L O G

44 4 0
                                    

***
O

rang-orang sudah berpikir

bahwa gadis itu tidak akan bangun. Matanya terekat kuat tanpa gerakan, bibirnya terkunci, hanya hidungnya yang bereaksi menghasilkan uap-uap hangat.

Gadis itu tidak pernah menyapa orang-orang yang silih berganti masuk ruangannya. Suster yang menyuntiknya bertubi-tubi pun tidak pernah ia maki.

Laki-laki yang setia menungguinya hanya menaruh harapan, tanpa berharap banyak. Sesekali ia mengusap kening gadis dua belas tahun itu dengan handuk hangat.

"Sudah selesai, permisi." Wanita berbaju putih baru saja tuntas menusukkan jarum infusnya.
"Ya, terimakasih" jawab lelaki itu.

Getaran ponsel menggelitik pemiliknya. Lelaki itu meraihnya dari saku kemeja dan kemudian berlanjut menekan satu tombol.

"Selamat sore. Iya, benar. Maaf..." Lelaki itu beranjak dari samping ranjang pasien. Langkahnya terfokus ke pintu keluar.

"Saya minta waktu lagi, Nisan-sama. Iya, saya mengerti. Surat pemecatan? Tapi keadaan saya benar-benar darurat. Mohon pengertiannya, ya..."

Tubuh itu sudah menghilang. Ruangan itu hanya dihuni oleh orang yang sama dalam satu bulan terakhir.

Disekitaran gadis itu terdapat berbagai mesin yang mengitarinya. Yang paling mencolok adalah mesin pendeteksi detak jantung. Layar gelap dengan garis naik turun menyala hijau den masih mengeluarkan bunyi 'bip' pendek-pendek.

Tidak ada gerakan. Lemas membujur tanpa memberi reaksi. Yang membedakannya dengan mayat hanyalah rona merah tipis di pipinya, juga tubuh yang masih hangat. Hangat yang kian detik kian menurun.

Bippppppppp,,,,,
Bunyi-bunyian berubah memanjang setelahnya. Walau begitu tidak menarik perhatian siapapun. Tidak ada yang memanggil dokter. Tidak ada pula cucuran air mata yang meneriaki. Tidak ada teman saat kematian dipucuk kaki, itu biasa, biasa terjadi pada siapa saja. Tapi siapa perduli? Kenyataannya kita memang dihadapkan pada kesendirian dan kesepian. Kapan saja.

Tubuh itu menggeliat. Getaran berada di ujung-ujung kuku tangannya, pun kakinya. Dalam sekali sentak gadis itu menemukan jalannya. Suara-suara telah kembali berbisik ke telinganya. Cahaya yang agak redup masuk melalui sela bulu matanya.

Gadis itu mengerang. Rupanya jalan yang ia temukan bukanlah jalan 'pulang'. Gadis itu telah kembali. Matanya sayu kembali, meski berhias guratan hitam dan kantung mata.

"Aku harus bangun,,," lirihnya.
"Aku harus bangun" katanya lagi.

Lemah dipunggungnya ia tahan meski bagian itu menyerangnya dengan nyeri sampai kepala. Matanya berkunang, namun ia masih bisa menemukan bayangan lukisan lemon, jam dinding, juga tirai jendela yang menari bersama angin.

"Aku ingin pulang. Aku sudah janji."

Gadis itu sadar banyak benda yang menempel di tubuhnya. Dengan susah payah ia menyingkirkan benda-benda itu. Paling terakhir jarum infus.

Kini ia berhasil merosot dari tepi ranjang. Kusut diujung gaun tidurnya terekspos jelas saat gadis itu berjalan menuju tirai. Angin mengangkat sedikit rambutnya. Tapi senyum segaris itu menyimpan banyak sekali harapan, meredakan sedikit sakit di seluruh bagian tubuhnya.

"Semoga ini berhasil."
Senyum itu makin mengembang. Kaki mungil dengan tulang kering menonjol berhasil mengangkat tubuh ringkih ke bingkai jendela. Angin leluasa memberi dorongan, namun tekad gadis itu memperkuat tubuhnya.

Jalan raya hanya berjarak enam lantai. Deretan mobil bersliweran terlihat seperti bintang jatuh. Gadis itu mengangkat satu kakinya ke udara. Setelah satu napas panjang ia nyaris terjun. Namun urung, karena deritan pintu membuatnya menoleh. Ada sesuatu di belakang sana. Sosok yang berdiri dibalik bayangan menyapanya dengan suara serak. Kini, tengkuk gadis itu rasa-rasanya mulai memanas.

"Mau main? "

  ***

Story of MIURA KIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang