📎E M P A T B E L A S

8 1 0
                                    


***

"Masuklah, Yuu!" Kiku membukakan pintu depan rumahnya. Benda itu berderit lumayan kencang saat didorong, "Ah, sepertinya listriknya sudah mati."

Tombol saklar yang ditekan-tekan Kiku tidak kunjung membuahkan hasil. Gadis itu menyerah, membiarkan dirinya bergerak dengan sisa penerangan yang ada.

Yuu duduk di depan pintu yang sedikit terbuka, hawa dingin yang dibawa angin membulatkan tekad anak itu untuk merapatkan cela di sana. Sekarang hanya kegelapan yang memenuhi pandangannya. Suasana yang akan membuat matanya menjadi sakit seandainya tidak ada berkas cahaya kemerahan yang bergerak mendekat.

Yuu bersyukur kemeresak dan gedebukan yang sempat ia dengar tadi membuahkan hasil. Kiku telah kembali dengan senyuman yang diterangi cahaya hangat.

"Untung aku masih ada lilin," suara nyaring gadis itu berlatar suara berisik hujan dan deruan angin. Gadis itu tidak lantas duduk, membuat Yuu paham kalau dirinyalah yang harus berdiri, "Kita ke ruang makan saja, akan kubuatkan minuman."

Anak lelaki itu menurut, bajunya yang agak basah membuat tubuhnya setengah menggigil.

"Kiku-chan, apa orang tuamu nggak ada di rumah?" ucap Yuu sambil merapatkan pelukan di sikunya. Berusaha memperoleh kehangatan di sana.

Kiku tidak menghentikan langkahnya, namun Yuu merasa jika gerakan gadis itu melambat.

"Seharusnya sudah pulang jam segini. Tapi, sepertinya mereka juga terjebak badai."

"Apa mereka nggak ngasih kabar?"

"Mustahil bisa ngasih kabar. Seperti yang kuceritain ke kamu tadi, Yuu. Di daerahku ini memang benar-benar sulit untuk mendapatkan sinyal. Juga, orang tuaku nggak tahu gimana caranya gunain ponsel."

"Oh, ya?"

"Yap. Orang tuaku memang agak kuno, begitu pun dengan anaknya." Ada nada geli diujung kalimat Kiku.

Yuu tiba-tiba teringat dengan telepon genggamnya. Seharusnya, sedari tadi dia mengeluarkan benda itu dan mendapat sedikit penerangan dari sana. Biar pun tidak ada satu strip pun sinyal, tapi masih ada beberapa strip baterai.

"Lebih baik."

Yuu meletakkan ponselnya dengan lampu menyala ke atas meja. Layar cerahnya benar-benar tidak menampilkan garis sinyal, dan itu cukup mengiris bagian perasaan Yuu. Tidak ada harapan mengirimi kabar lagi untuk orang rumah. Akankah neneknya khawatir? Tapi dia sudah meninggalkan pesan, harusnya semuanya baik-baik saja.

"Akan kubuatkan teh." Kiku mengangkat penampang lilin, "Aku bawa nggak apa-apa, kan?"

Yuu hanya mengangguk

Yuu menyangka, suara gaduh yang berasal dari dapur mengisyaratkan bahwa gadis itu sama sekali tidak ahli di tempat itu. Namun, mungkin saja masalahnya hanya penerangan.

"Enggg.. Yuu.." Kiku kembali ke ruang makan dengan perasaan hampa, "Sepertinya teh dan gulanya habis."

Kiku mengakui dengan agak malu. Harusnya dia memeriksa dulu sebelum menawari. Jadi, ia tidak harus memberi harapan palsu seperti ini. Kiku sudah siap mendapat pandangan kecewa dari dua bola mata Yuu.

Yang terjadi malah sebaliknya, anak lelaki itu justru tersenyum. Tidak ada guratan kecewa segaris pun yang ia tampakkan.

"Nggak apa-apa, Kiku-chan. Terima kasih," ucap Yuu kurang lancar.

Ia tidak bisa lagi menutupi rasa dinginnya. Gigi atas bawahnya saling berketukan tanpa bisa terkendali.

"Kamu nggak apa-apa, Yuu?"

Story of MIURA KIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang