***
"Sepertinya memang tidak ada festival." Kali ini mata Yuu yang beredar mengamini dugaan-dugaan yang tadi Kiku lontarkan. Lelaki itu menemukan beberapa orang yang rata-rata pedagang, tampak sibuk. Warung-warung kecil ditutup pintunya, gelaran pernak-pernik dikemasi pemiliknya, beberapa bergerak dengan lari-lari kecil.
"Anginnya juga tambah kencang." Tangan Kiku memberi isyarat Yuu untuk menepikan sampan, "Mungkin sudah saatnya kamu pulang, Yuu. Ayo kuantar ke stasiun."
Yuu membantu Kiku turun setelah sebelumnya ia berhasil meloloskan diri dari sampan ke undakan tepi sungai.
"Kamu serius nggak pengen aku antar pulang dulu? Sudah gelap begini, kamu berani sendiri?"
"Aku berani Yuu, nggak akan ada yang gangguin aku. Lagi pula jalan pulangku satu arah dengan stasiun. Ayo kita jalan sama-sama dulu."
Pedagang sudah menghilang seluruhnya dari area taman ketika Yuu dan Kiku keluar. Penjaja jajanan dijemput kendaraan bak terbuka, ada yang mendorong sendiri, atau mengayuh di jalan. Satu tujuan yang mereka pikirkan. Pulang ke rumah.
Itu pun yang diharapkan Yuu sekarang. Namun hatinya langsung mencelos ketika mendapati pintu stasiun telah tertutup. Kiku menggedor-gedor dengan panik, baru dua gebrakan pintu itu pun terbuka. Keluar paman-paman bersetelan jaket dan topi hendak mengunci.
"Paman, kenapa stasiunnya tutup?" tanya Kiku penuh cemas. Begitu pun Yuu yang memandangi bangunan stasiun dengan muram.
"Hari ini ada hujan badai, stasiun ini tutup dulu dan baru akan beroperasi besok pagi."
"Hah? Besok pagi! Tapi teman saya harus pulang."
"Besok saja pulangnya, badainya lumayan besar hari ini. Jarak pandangnya tidak memungkinkan, listrik juga akan dimatikan sebentar lagi, jadi stasiun ini tidak bisa beroperasi."
"Aduh, bagaimana ini, Yuu?" Kiku melirik ke Yuu yang coba membalas dengan senyuman menenangkan.
"Aku akan menelpon ayahku agar dijemput, sementara itu aku akan menunggu di sini. Kamu pulanglah Kiku-Chan. Anginnya sudah lumayan kencang, takutnya keburu hujan."
"Kamu penduduk sini, Nak? Mau kuantar sekalian?" tawar paman bertopi berbaik hati.
"Bisa tunggu sebentar, Paman?" Kiku memohon, "Pakai telepon umum saja Yuu. Sinyal di sini sering putus-putus. Ada satu di jalan masuk desa."
"Tapi.. "
"Ayo kita nggak ada waktu lagi.." Kiku sudah menyeret-nyeret lengan Yuu, "Kami akan segera kembali, Paman. Tunggu sebentar."
Yuu pasrah. Ia berlarian dengan Kiku sebagai pemandunya. Titik-titik hujan sudah mulai berjatuhan. Kepala kedua anak itu serasa baru dijatuhi butir-butir beras.
"Hei, aku akan ambil mobil dulu! Aku akan menyusul kalian ke telepon umum!" teriak petugas stasiun yang langsung dihadiahi jempol oleh Kiku. Gadis itu ingin berteriak terima kasih tapi rasa-rasanya akan sia-sia tertelan hujan.
"Ah, hah, tekan nomornya!" engah Kiku setelah sampai di kotak telepon. Paman bertopi menyusul lebih cepat dari yang mereka kira. Beruntungnya lelaki itu mau menunggu.
Yuu yakin menelpon Haruki akan lebih efektif. Tapi anak itu tidak suka harus meminta bantuan pada ayahnya, jadi ia memilih menelpon rumah dan berbicara pada nenek. "Halo.. " yang me jawab hanyalah mesin penjawab yang memintanya meninggalkan pesan.
Ppiimmmm
Paman di mobil membunyikan klakson untuk mendapat perhatian, "Bisa cepat sedikit, sebentar lagi badainya akan datang. Bisa berbahaya!" pekiknya.
"Yuu!" Kiku mengguncang-guncangkan lengan Yuu, "Yuu, sebaiknya kamu pulang dulu ke rumahmu, aku takut paman itu meninggalkan kita." Kepala gadis itu sudah basah, rambut cantiknya sudah tidak berbentuk lagi. Melihatnya membuat Yuu jadi tidak tega.
"Halo Nek, ini Yuu. Aku tidak bisa pulang hari ini karena badai. Aku menginap di rumah teman..."
"Cepatlah, Yuu!" rengek Kiku seperti ada air mata yang bercampur hujan di pipinya.
"Nenek tidak usah khawatir." Gagang telepon itu sudah ditutup.
Kiku lari duluan membuka pintu belakang mobil, disusul Yuu. Si pemilik mobil tidak memperdulikan jok belakangnya basah terkena tubuh kuyub dua remaja yang ditolongnya. Dengan seluruh kekuatan lelaki limapuluh tahunan itu menginjak gas dan memutar setir. Menggerakkan mobil tuanya mengurai hujan dengan kecepatan penuh.
***
Seperti ada yang merayap-rayap di kaki Haruki ketika menginjak rem dan gas bergantian. Ia sedang berusaha mengejar waktu. Ia sudah berjanji pada ibunya untuk pulang cepat, biasanya dia tidak akan khawatir karena ada anak lelaki sekuat baja yang rela mengorbankan apa saja untuk melindungi neneknya. Tapi bocah belasan tahun itu sedang tidak diketahui juntrungannya sekarang.
"Haruki, biar aku yang menyetir. Sepertinya keadaanmu sedang kacau."
Keringat-keringat dingin menyembul dari pori-pori tangan Haruki, mengalir sampai berjatuhan di pangkuannya. Sejak memaksakan diri untuk memegang setir, Aiwara tahu lelaki di sampingnya sedang tidak beres.
"Maafkan saya, Nona Aiwara. Maaf harus mengakhiri pertemuan dengan ayah Anda dengan cepat. Saya terburu-buru. Saya.. tidak bisa meninggalkan ibu saya."
Pulang, ayah tidak berguna! Pulang atau mati saja!
Suara imut namun menusuk sedang mengganggu konsentrasi Haruki. Suara yang berasal dari bertahun-tahun lalu, namun terasa baru beberapa detik mampir ke telinganya. Masih panas, masih sama menyakitkannya seperti pertama kali ia dengar.
Tangan dengan buku-buku mengeras itu memutar setir untuk menepi, berlanjut mendorong pintu mobil yang mengeluarkan tubuh tegap semampai. Aiwara tidak pikir dua kali untuk mengambil alih ke jok sopir ketika Haruki memutar tubuhnya mengitari bagian depan mobil. Lelaki itu kemudian menyamankan duduknya di jok bekas Aiwara yang masih hangat.
"Maaf, Nona." ulang Haruki tidak memperdulikan bulir-bulir air yang menetes dari rambutnya. Hujan telah deras entah sejak kapan. Lelaki itu mencoba untuk mengatur napasnya. Kaca matanya mendadak buram karena uap. Ia sempat berharap ada semacam pembersih di kaca matanya, seperti yang sejak tadi berdecit naik turun di kaca mobil.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/220448979-288-k683548.jpg)