***
"Seharusnya aku melompat ke mimpi lain. Tapi nyatanya aku malah terbangun."
Kiku bicara pada dirinya sendiri saat kelas menjadi sepi.
Jam dinding di belakang belum menunjukkan waktu pulang. Itu yang membuat gadis itu sangat menyesali kebangunannya.
Tidak seharusnya waktu yang longgar ini ia sia-siakan. Atau mungkin karena setelah istirahat adalah jam guru paling galak jadi anak sekelas sudah menangkap sinyal bahaya.
Guru itu tidak seperti guru-guru
lain yang mengabaikannya. Guru itu sangat perhatian, dan hobi memberi hukuman.Kiku pun sebenarnya rela disuruh berdiri, keluar kelas, atau di pukul sekalipun. Namun hukuman seperti itu rupanya tidak cukup kejam.
Guru itu hobi membentak
dengan suara menggelegarnya. Mengetuk-ngetuk meja dengan penggaris kayu panjang. Itulah letak kekejaman yang nyata bagi Kiku.Dengan kebisingan-kebisingan itu mustahil dia bisa melompat ke alam yang disukainya dengan lancar.
Beberapa anak masuk, suara sol-sol sepatu mereka masih ringan. Namun ketika bel sudah berbunyi, tubuh laki-laki dan perempuan saling berdesakan dipintu kelas.
Paling terakhir adalah seorang laki-laki yang sangat asing.
Rambutnya tertata rapi.
Kacamatanya pun mengikuti tren terkini. Sebagian siswa menilai, hanya untuk gaya-gayaan.Namun, yang paling aneh adalah cara berpakaiannya. Berdasi dan sepatu kulit.
Dibeberapa kesempatan yang cuma sepersekian detik, lelaki itu mencoba memamerkan jam tangan bermerek yang berada di pergelangan tangannya.
"Selamat pagi semua!" sapa lelaki itu dengan menyengir kuda.
"Saya Haruki. Saya akan menggantikan Nijima Sensei untuk sementara waktu. Saya sudah membawa buku materi. Eng... Semua sudah tercatat disini. Ayo belajar bersama. Semangat!" ujar lelaki itu garing.
Murid-murid terbengong sebentar. Lalu tidak serempak, mereka mengangkat kepalan tangan dan berujar malas. "Semangat"
"Apa aku pernah melihat lelaki itu?" Kiku memicingkan indra penglihatannya.
"Baik, saya akan menerangkan tentang bagaimana mengubah bentuk puisi.."
"Aku yakin pernah bertemu dengannya. Benarkan?" Kiku menoleh ke tasnya.
Kepalanya menggeleng-geleng dan bahunya terangkat.
"Tidak tahu? Benar-benar
tidak tahu?" imbuhnya yang masih menjalin komunikasi dengan tasnya. Aneh."Ya, baiklah. Terserah."
***
"Nek, nasinya sudah matang? Boleh aku buka?"
Yuu sudah berada didepan penanak nasi. Centong pun telah teracung bersamaan mangkuk yang dicengkeram di tangan satunya.
"Ya, ambilnya hati-hati. Pakai centong jangan sendok"
"Siap, bosss!"
Nenek muncul dengan menenteng semanci besar sup rumput laut.
Ketika tutup manci itu dibuka keluarlah aroma yang hangat dan gurih. Yuu tidak sabar mencicipi, namun tangannya langsung dihadang oleh neneknya.
"Tunggu Ayahmu dulu!" tampik nenek menggeser manci sup menjauh dari Yuu.
"Yah, Nek aku sudah lapar, haruskah nunggu dia pulang dulu?"