Sehari kedatangan Wendy, Seulgi masih tidak masuk sekolah. Tak ada kabar. Keterangan Seulgi tak masuk di presensi masih sakit. Namun Wendy mau pun Jimin tak ada yang mendapatkan kabar dari Seulgi. .
Wendy membuka pintu kamarnya begitu ia sampai di rumah setelah pulang sekolah. Cahaya dari luar masuk ke dalam kamarnya yang gelap. Membuat tubuhnya yang menghalangi sinar menjadi bayangan tinggi besar di dalam kamar. Ia berjalan gontai menuju kasur dan duduk di pinggirnya. Wendy menyalakan lampu tidur di dekat kasurnya, membuat wajah lelah tanpa ekspresinya tersorit cahaya lembut dari lampu.
Perasaan Wendy saat ini tengah campur aduk. Setelah melihat Seulgi menangis di depannya tanpa melakukan apapun, Wendy merasa bersalah. Ada perasaan sesak yang melingkupinya. Membuat Wendy tak enak sepanjang hari.
Tak lama, suara ponsel berbunyi. Wendy meraih ponsel dari dalam saku seragamnya. Tertera nama Seulgi di layar. Ketika Wendy baru mau menjawab, panggilan terbutus. Tak lama, panggilan baru muncul. Namun berselang satu detik, panggilan terputus lagi.
Perasaan Wendy mulai tidak enak. Ia kembali menelopon Seulgi sambil menunggu dengan gelisah. Tanpa sadar Wendy meremas rok seramanya. Panggilan terseambung begitu bunyi nada sampung ketia.
"Ada apa, Gi?" tanya Wendy.
Tak ada jawaban. Terjadi keheningan. Namun sayup-sayup Wendy dapat mendengar suara tangisan yang tertahan. Tangis yang sama ketika Seulgi menangis kemarin. Sedetik kemduian, suara lirih Seulgi terdengar memanggilnya. "Wen."
"Iya?" jawab Wendy terkesiap. Punggungnya menegak. Namun lagi-lagi tak ada jawaban dari Seulgi. Ia hanya dapat mendengar tangisan tertahan Seulgi berubah menjadi tangis pilu yang ikut menyakiti hatinya. Wendy semakin khawatir. "Gi, lo gak apa-apa?"
Tangisan Seulgi mengecil. Bukan karena reda. Namun terdengar seperti Seulgi sengaja menghentikan tangisnnya dengan mengigit bibirnya. Tak lama, suara lirih Seulgi kembali terdengar. Kali ini, nada itu berubah menjadi putus asa dan memohon. "Tolong, Wen. Gue udah gak kuat."
Mata Wendy membulat. Semua bayangan negatif berseliweran di kepala Wendy. "Lo di mana sekarang?"
"Rumah."
"Jangan ke mana-mana. Gue ke rumah lo sekarang." panggilan itu terputus. Wendy mengganti seragamnya dengan celana jeans panjang dan hoodie hitam. Lalu mengambil tas selempang dan memasukan dompet dan ponsel. Perasaannya mengatakan ada yang tak beres dengan Seulgi saat ini dan yang Wendy tahu, ia harus berada di rumah Seulgi secepat mungkin.
***
Wendy berlari masuk ke dalam rumah Seulgi begitu tak menapati seorang pu di sana. Langkahnya berhenti tepat di depan kamar Seulgi dan membuka pintu cepat. Begitu pintu terbuka, bau karbol tercium menyengat memenuhi kamar Seulgi. Setelahnya, Wendy menemukan Seulgi memunggunginya di lantai. Perempuan itu memeluk kedua lututnya, sedangkan wajahnya terbenam di antara lipatan lutut itu. Di depan Seulgi terdapat 2 botol pembersih lantai berwarna hijau. Satu botol tumpah dengan cairan putih menggenang disekitarnya. Satunya lagi terbuka tanpa tutup seolah siap untuk diminum.
Melihat pemandangan di depannya, tubuh Wendy menegang. Ia akhirnya mengerti maksuda telepon Seulgi tadi. Gadis itu ingin mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hidupnya sendiri. "Gi," panggil Wendy tak percaya.
Pelan, wajah Seulgi terlihat menengok dan Wendy dapat melihat betapa kosongnya ekspresi Seulgi saat ini. Tawa Seulgi sudah benar-benar menghilang seakrang. Kini hanya tersisa hawa dingin dari mata Seulgi yang membalas tatapan Wendy. Saat ini, meskipun Seulgi tak jadi menenggak cairan pembersih lantai, gadis itu telah terlihat mati.
Perasaan ngeri merayapi seluruh tubuh Wendy. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Namun di sana, Wendy juga menemukan perasaan sakit tak terhingga yang muncul dari sosok Seulgi saat ini. Perasaan bersalah mendera hati Wendy. Untuk pertama kalinya, Wendy merasa kecewa pada dirinyan sendiri.
Wendy harusnya tahu dari cerita Seulgi tempo hari jika Seulgi tengah menderita saat ini. Ia hanya ingin ayahnya mengakuinya ada. Menyayanginya dan memperhaitkannya seperi orangtua pada umumnya. Namun harapannya justru seperti sebuah bumerang. Harapan itu menghancurkan Seulgi hingga ke keping terakhir dirinya.
Sebuah harapan kecil itu tak akan pernah menjadi kenyataan. Menyadari hal itu membuat Seulgi hancur. Fakta jika ayahnya tidak memperhatikan dan menyayanginya membuat Seulgi merasa ia tidak diharapakan. Membuatnya merasa tidak berharga.
Tawa dan senyum Seulgi di sekolah menjadi tameng satu-satunya agar dirinya sendiri yakin, ia cukup kuat untuk melalui ini semua. Sebisa mungkin Seulgi selalu berusaha membuat orang lain bahagia agar dirinya bisa ikut bahagai. Namun pada keyataannya Seulgi justru merasa palsu. Hal itu membunuh Seulgi dalam diam.
Mengetahui hal itu, Wendy justru merasa bersalah. Ia tidak berhak untuk merasa iri dengan apa yang Seulgi punya ketika hal itu justru menjadi satu-satunya hal yang membuat Seulgi bertahan hidup.
Wendy merasa kecil karena menilai orang begitu saja tanpa tau cerita mereka.
Detik berikutnya, tubuh Wendy bergerak mendekati Seulgi tanpa perintah. ia berjongkok di hadapan Seulgi dan memeluknya erat. "Sorry, Gi," bisi Wendy sungguh-sungguh di telinga Seulgi.
Seulgi tak membalas. Namun begitu mendengar suara Wendy, tangis Seulgi pecah. Tangis nyaring yang memilikun. Ia membiarkan Wendy memeluknya sedangkan tubuhnya dengan lemas bersandar pada Wendy. Berkali-kali napas seulgi tersendat karena tangisnya tak bisa berhenti hingga ia kesusahan mengambil napas.
Bersamaan dengan itu, Wendy ikut menangis. Rasa bersalah dan sakit yang Seulgi salurkan dari tangisnya tepat mengenak titik terlemah Wendy. Ia runtuh bersama Seulgi.
to be continue...
Putri's Note:
Bab ini tuh bab yang paling susah ditulis. Berkali kali aku berusah buat larut dalam perasaan sakit wendy dan mendalami lukanya Seulgi tapi masih aja susah.
Aku berusaha sebisa mungkin feel bab ini nyampe ke kalian dengan baik dan semoga usaha aku tercapai.
Hi, Putri di sini!
plutowati.
KAMU SEDANG MEMBACA
She Wants To Be Like Her [Suga x Wendy] Long ver.
Hayran KurguHanya ada satu cara agar Wendy bisa mendekati Suga: menjadi Seulgi. Long ver. start: 3 April 2020 end: 31 Mei 2020 cr. plutowati, 2020