PART 19

352 11 0
                                    

Lisa's POV

Gue mengambil napas sedalam mungkin. Ya, seperti biasa udara disini memang masih segar. Tetes-tetes air dari daun pepohon cemara sedari tadi jatuh ke lahan berumput ini. Katanya, semalam hujan turun cukup deras.

Kelopak demi kelopak mawar putih yang ada di keranjang beranyam bambu ini, gue taburkan di atas gundukan tanah yang sekarang sudah mulai berumput. Gue mengusap lembut nisan yang terbuat dari marmer hitam ini, terkena hujan semalam. Gue tersenyum kecil saat meraba di bagian namanya, terukir rapi.

"Maaf ya, Ris, udah lama gue gak kesini. Gara-gara sibuk di akhir semester kemarin."

Ada setetes air yang jatuh di permukaan nisan ini. Gak, hari ini cuaca cerah dan pohon-pohon berjarak lumayan jauh dari makam Riska. Iya, air mata, bahkan sekarang jatuh kembali untuk yang kedua kalinya.

Gue mengusap jejak air mata yang membekas di pipi, "Ris, gue jadi rentan galau gini coba."

Gue gak mungkin masuk ke dalam fase itu lagi. Tapi, ini terjadi untuk yang kedua kalinya, bahkan lebih buruk. Gue jatuh hati sama dia dan dia juga sama. Tapi gak bisa bersatu dan..... Ya ampun, sadar Lisa! Kehilangan Riska itu adalah yang terburuk sepanjang hidup gue.

Gue menyeka air mata yang hampir aja jatuh kembali, "Gue kangen banget sama lo, Ris."

Gue memutuskan untuk berdiri lalu mengusap-usap kedua lutut yang agak kotor. Setelah berdiri dengan tegak, justru ada tangan lain yang mendarat diatas kepala gue. Aduh, apaan sih? Jangan berhoror ria di kala fajar menyusung tinggi dong! Ya ampun, kenapa gue malah jadi sok puitis?

"Oh, lo, Kev. Ngapain?" antara peduli dan gak peduli, gue menanyakan perihal dia datang kesini.

Kevin hanya tersenyum hambar menanggapi pertanyaan gue. Kalau aja gue gak segera sadar Jessica ada di belakang dia, mungkin aja tonjokan maut gue udah mendarat di pipinya. Senyum hambarnya Kevin itu entah kenapa selalu sukses buat gue kesal. Tapi, gue tau alasan dia menampilkan itu sekarang.

"Lis, gue mau ngomong berdua aja sama lo. Boleh?" dengan wajahnya yang penuh harap, gue gak mungkin menolak keinginan Jessica.

Pandangan gue mengarah pada Kevin, dia mengangguk. Gue tersenyum sebagai tanda persetujuan dan mengisyaratkan Jessica untuk mengikuti langkah kaki gue.

Tempat ini berjarak sekitar 50 meter dari tempat gue, Kevin, dan Jessica bertemu sebelumnya. Ya, walaupun masih di lokasi yang sama dengan danau, tapi jaraknya memang lumayan juga. Hanya menurut gue tempat ini cocok untuk berbagi masalah dan solusi.

Bisa dibilang ini adalah ujung dari area danau. Sekitar 2 meter dibawah dataran gue berpijak, sebuah lahan perkebunan teh yang berbukit-bukit terpampang jelas sejauh mata memandang. Hanya pagar semak yang membatasi dataran dengan ketinggian yang sangat berbeda ini.

Sesuai dugaan gue, Jessica terpukau melihat lukisan alam di hadapannya, "Hm, jadi mau ngomong apa?"

Mungkin karena saking terpananya, Jessica agak tersentak mendengar pertanyaan gue, "Ya, lo pasti tau kan masalah gue sama Kevin?"

Gue menggeleng. Ya tentu aja, gue memang tau kalau akhir-akhir ini mereka punya masalah tapi Kevin gak pernah cerita sedikit pun masalah apa yang membelit mereka. Gue penasaran, sangat.

Jessica terlihat mengambil napas dalam, "Kevin, ya, dia selalu anggap gue sama kayak dulu. Maksudnya, dia terlalu berlebihan untuk yang katanya mau 'melindungi' gue. Dia kayak melihat gue yang dulu, waktu gue masih sakit."

Dari atas sini, gue bisa melihat ada 5 wanita paruh baya di ujung sana yang sedang memetik pucuk demi pucuk daun teh. Keranjang yang ada di punggung mereka sudah terisi kurang lebih setengahnya. Itu berarti, perkebunan teh itu lebih luas daripada yang bisa gue lihat saat ini mengingat baru sampai sana saja, daun-daun teh yang mereka petik sudah sebanyak itu.

Because We're Best FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang