PART 22

792 14 4
                                    

Kevin's POV

Tempat ini semuanya putih, luas banget. Tapi, gak ada satupun benda baik besar ataupun kecil disini. Yang membuat semuanya semakin parah adalah gue sendirian di tempat yang entah apa dan dimana ini.

Gue mulai berjalan selangkah demi selangkah, bermaksud untuk menemukan tempat yang lebih baik. Gue merogoh saku celana untuk mengambil ponsel, tapi gak ada. Bagus. Gue bakal mati disini seorang diri.

Tapi, gue belum jalan begitu jauh, jadi gue putuskan untuk melanjutkannya. Ya Tuhan, gak ada apapun kecuali dua orang disana. Eh, tunggu. Dua orang? Ditempat ini? Bareng gue?

Gue langsung berlari ke tempat mereka berada. Setelah jarak diantara gue dan mereka semakin menipis, gue berhenti berlari. Gue mengerjapkan mata berkali-kali, bahkan sampai mengusap kasar. Ini gak salah kan?

Riska sama Lisa lagi tertawa kecil satu sama lain.

Jadi... gue udah... meninggal?

Mereka berdua menoleh ke arah gue secara bersamaan. Mereka tersenyum manis dan itu yang sangat gue rindukan. Riska yang berdiri lebih dulu dan menghampiri gue yang masih gak percaya dengan semuanya. Sahabat-sahabat gue. Jadi, inikah waktunya?

"Lebih dari setengah tahun kita gak ketemu, Kevin," senyum Riska mengembang dihadapan gue. Ini adalah kali pertama gue dengar suaranya setelah dia meninggal.

Rasa rindu yang membakar diri ini membuat gue langsung memeluk erat Riska. Tapi, kenapa gue malah meluk diri sendiri? Gak, mereka tampak jelas dimata gue. Gak mungkin gue gak bisa bersentuhan dengan mereka.

Lisa yang sebelumnya duduk kini berdiri lalu menghampiri gue, "Belum saatnya, Kev."

Lisa mendekatkan tangannya ke tangan gue. Benar. Tangannya menembus tangan gue gitu aja. Kalu begitu, ini maksudnya apa?

"Menghindari pengobatan lo sendiri sama aja dengan bunuh diri, Kev," gue tau Riska sebenernya kesal saat mengucapkan kalimatnya itu. Tapi, dia tetap tersenyum.

"Kita gak mau nerima lo dalam keadaan seperti ini," Lisa pun sama, tetap tersenyum.

"Ta--tapi, cukup disini aja. Hidup dibawah sana udah cukup memuakkan," dengan spontan gue mengutarakan kalimat itu. Ya, gue memang gak mau lagi main di sebuah drama yang justru menjadi sesak dibagian akhirnya.

"Lo harus meninggalkan dunia dengan baik. Kalau gak, selamanya akan seperti ini. Jalanin sisa-sisa kehidupan lo yang masih ada," tatapan mata Riska sangat tenang. Gue mengangguk pelan sambil mencerna setiap kata-katanya.

Bener juga. Gue gak bisa ninggalin keluarga gue, Jessica, dan orang-orang yang gue kenal lainnya dengan cara kayak gini.

"Jangan takut, Kev," kali ini Lisa yang bersuara, "Kita akan ketemu lagi ditempat yang indah."

Perlahan-lahan mereka seperti memudar bersamaan. Gak lama setelah itu, mereka menghilang dari hadapan gue. Entah kemana mereka pergi.

Sepersekian detik kemudian, tubuh gue seperti ditarik kencang ke bawah. Sangat cepat, sampai-sampai gue harus memejamkan mata biar gak pusing. Setelah itu, gue merasa semuanya lebih tenang.

Kepala gue agak berat dan tubuh gue pun sedikit kaku. Pelan-pelan gue mencoba membuka kedua mata. Semuanya berdekorasi putih, lagi. Ada Mama disisi gue yang terlihat sangat bahagia. Gue sempat melihat Papa tadi sebelum dia hilang dibalik pintu. Dia juga gak kalah senengnya dengan Mama.

Gue terbaring dengan beberapa peralatan aneh yang berhubungan dengan tubuh gue. Mungkin, gue baru terbangun dari koma.

• • • •

Because We're Best FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang