Chapter I

115 15 5
                                    

Cinta adalah hal yang mampu membangkitkan gairah, memompa adrenalin, perasaan menggebu-gebu, senyum tak terkontrol, memberi rasa percaya yang besar dan pengorbanan diri yang mutlak. Cinta mampu membuatmu kecewa. Cinta bisa dengan tega menggores luka yang sangat dalam. Itulah yang aku percayai selama 20 tahun hidupku. Cinta hanyalah perasaan semu yang membawa banyak khayalan indah yang berujung luka tak tersembuhkan.

Hari itu menjadi hari yang sangat biasa, hari yang mampu membuang-buang detik tanpa melakukan apapun. Merebahkan diri diatas ranjang, memainkan handphone, menonton atau tidur menjadi rutinitas setiap hari yang membuatku mual ketika aku hendak membuka mata saat bangun tidur. Mataku masih terasa berat dan panas sore itu. Aku baru saja bangun dengan rasa bosan yang kian memuncak. Kutatap wajahku dicermin bulat yang tergantung dibelakang pintu kamar. Macam babi memang, batinku ketika melihat wajah bengkak itu dicermin. Tiba-tiba handphoneku berbunyi tanda pesan WhatsApp masuk.

Sis, temenin aku ke studio foto yah..

Aku menggaruk belakang leherku meski sebenarnya tidak terasa gatal. Hari ini aku benar-benar berada pada batas kemalasanku. Malas untuk berfiam diri didalam rumah dan malas untuk keluar rumah. Aku melihat jam dipojok atas layar handphoneku. Nyaris pukul 4 sore. Sinting! Udah jam empat baru buat sibuk, makiku dalam hati. Dengan enggan kubalas pesan adikku itu dan setuju untuk menemaninya. Kuambil handuk dan bergegas untuk mandi. Air dingin dari lubang-lubang shower mengguyur tubuhku dan itu memberikan sensasi yang membuatku sedikit santai. Ketegangan dan keengganan yang ada ketika bangun perlahan mulai lenyap. Aku melangkah keluar dari pintu kamar mandi dan segera menuju kamar untuk berpakaian. Dalam hal berpakaian, aku bukanlah orang yang suka dengan gaya yang terlalu mencolok dan trendi. Aku selalu mengenakan pakaian yang bagiku nyaman saja meski harus mengenakannya sampai 2 atau 3 kali dalam seminggu. Yah, mungkin bagi kalian pasti berpikir bahwa cewek macam apa yang mau mengenakan baju yang sama dalam seminggu. Tapi aku tidak perduli. Pilihanku sore itu jatuh kepada sebuah kaos berkerah warna kuning dengan gambar anjing disisi dada bagian kanan menunjukkan bahwa kaos itu bermerk Hush Puppies. Jeans belel dengan sedikit robekan kecil disana-sini, sepatu Nike dan tas kecil yang disampirkan akhirnya menyempurnakan gaya "gembel"-ku. Mengenai make up, aku tidak pernah menyentuhnya, tapi aku memang mengenakan make up ringan hanya untuk sekadar menutupi keburikanku dan juga bibir pucat kering ini. Tepat setelah aku selesai dengan semuanya, adikku tiba dan tanpa ba-bi-bu juga kami segera berangkat.

***

Mobil yang kami tumpangi itu berjalan dengan perlahan, membuatku nyaris saja tertidur. Aku mengedarkan pandanganku keluar jendela untuk memastikan sudah sejauh mana perjalanan kami. Masih cukup jauh, batinku. Aku hampir saja memutuskan untuk sepenuhnya tidur, tapi sesuatu menarik perhatianku. Mataku menangkap map biru yang berada dipangkuan Lisa, adikku. Jiwa penasaranku meronta-ronta dan pertanyaan yang sejak tadi sudah berada diujung lidahku akhirnya terlontar.

"Map apa itu?" tanyaku dengan nada datar.
"Oh ini," ujarnya sambil membuka map tersebut. "Berkas-berkas buat daftar kuliah."

Aku hanya mengangguk tanpa bersuara seakan-akan Lisa bisa melihatku.

"Aku tinggal ngambil foto dan memasukkan berkas-berkas ini kembali ke tempat pendaftaran." katanya panjang lebar.

"Besok aku ikut sekalian mau ambil berkas-berkas untuk pendaftaran." sambungku cepat.

"Bukannya udah ada rencana masuk universitas lain?"

"Ehm, yah. Tapi apa salahnya untuk mencoba peruntungan di tempat lain, kan?"

Setelah menghabiskan waktu lebih dari sejam dan ditambah macet, kami pun akhirnya sampai di studio foto yang dituju. Lisa membuka pintu kaca dan hembusan udara dari ruangan ber-ac meniupi wajahku yang lusuh karena kepanasan. Aku terduduk bersamaan dengan orang-orang yang tengah antre entah untuk berfoto atau untuk mengambil hasilnya. Aku menunggu dengan sabar hingga Lisa memanggilku dan kami naik ke lantai 2. Tempat untuk berfoto tampak sedikit lengang. Hanya ada beberapa gadis yang sudah menyelesaikan sesi foto mereka. Lisa pun segera bersiap-siap, menyisir rambutnya agar terlihat lebih rapi dan memoles sedikit bedak dan juga lipstik. Aku kembali menunggu sambil mengutak-atik handphoneku. Sesi foto selesai. Lisa berjalan kearahku sambil melenggang sebuah kertas ditangannya.

Rewrite The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang