Chapter VIII

30 5 2
                                    

"Didalamnya ada uang buat kamu bayar biaya kuliah semester pertama. Kamu bayar sendiri aja yah, Ra." ujar mama lewat telepon.

Mama baru saja menjelaskan padaku bagaimana caranya menggunakan kartu ATM. Maklum selama aku hidup 20 tahun, aku tidak pernah menggunakan barang itu. Bagiku lebih enak menggunakan uang tunai dalam segala bentuk pembelian. Aku memandangi kartu itu ditanganku.

"Oke ma. Makasih." balasku singkat.

Sebelum berangkat, kusinggahi cermin untuk mengecek penampilanku. Emang nggak akan pernah berubah deh. Tetap aja gembel, batinku dengan bibir tertekuk.

"Udah siap, Ra?" tanya Gerry, omku yang paling muda.

Dia sudah siap dengan jaket dan helm dikepalanya. Motornya sudah dinyalakan dan tinggal menunggu penumpangnya untuk naik. Aku mengangguk, mengambil helm yang disodorkannya dan duduk diam dibelakang. Aku mengecek sebuah chat yang masuk.

Iyan:
Ra, kamu dimana?

Me:
Udah dijalan nih. Sabar yah.

Iyan:
Ya udah. Jangan main hape diatas motor.

Me:
Siap bossku.

Aku tersenyum kecil. Perhatiannya yang sederhana selalu membuatku merasa istimewa. Memang Iyan jarang sekali mengucapkan kata-kata manis dan romantis tapi semua hal itu dia perlihatkan melalui tindakannya.

Motor memasuki halaman kampus dan Gerry menurunkanku diparkiran. Aku menyerahkan helm dan menggumamkan terima kasih. Aku merogoh handphone dari dalam tas kecilku dan mengirimi Iyan pesan.

Me:
Yan, dimana?

Iyan:
Didepan Auditorium nih sama Andika.

Dari kejauhan bisa kulihat Iyan yang sedang duduk ditangga-tangga kecil didepan Auditorium.

"Mana temanmu, Ra?" tanya Gerry yang masih menunggu.

"Ada, lagi duduk disana." jawabku cepat.

"Ya udah, aku pergi yah."

Aku mengangguk dan dia segera menjalankan motornya. Aku menyeberangi jalan yang sedikit lengang dan memasuki halaman Auditorium. Senyumku terkembang dan dibalas manis oleh Iyan.

"Udah lama kalian?" tanyaku sambil duduk disamping Iyan.

"Lumayan," kata Iyan sambil tertawa kecil.

"Eh, Yan. Ara kan udah ada nih, aku balik duluan yah." kata Andika berpamitan.

"Oh iya, Dik. Hati-hati yah kamu."

Andika menghilang sudut gedung. Tiba-tiba Iyan meraih tanganku. Digenggamnya tanganku erat seperti biasa. Perasaan menggelitik diperutku kembali terasa seperti yang selalu terjadi bersamaan dengan debaran jantungku yang meningkat.

"Jadi gimana?" ujarku dengan tak sabar.

"Udah ketemu kepala jurusan, terus udah masukkin nama."

"Syukurlah."

"Kamu gimana? Udah mau bayar UKT sekarang?" tanyanya sambil merapikan rambutku.

Aku mengangguk. "Mamaku udah kasih uang buat bayar."

"Mau ambil uangnya sekarang?"

Sekali lagi aku mengangguk dan Iyan segera berdiri dari duduknya. Aku ikut berdiri sambil membersihkan celanaku dari debu lantai yang menempel. Aku dan Iyan menyeberangi jalan menuju ATM yang berada dihalaman parkir kampus.

Rewrite The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang