Chapter IX

26 4 2
                                    

Mataku membuka perlahan akibat cahaya matahari yang menyilaukan dan mengganggu tidurku. Tanganku meraba-raba pinggiran bantal, berusaha keras untuk menemukan handphoneku. Aku melihat jam yang tertera pada layar. Jam sembilan! Aku menepuk jidatku untuk memberinya hukuman karena gagal mengingatkanku untuk bangun lebih pagi. Hari ini aku berjanji pada Iyan akan menemaninya membayar biaya semester pertamanya. Aku segera bergegas untuk mandi.

"Mau kemana, Ra?" tanya nenekku saat melihat aku yang tengah membubuhi merah bibirku didepan kaca di kamarnya.

"Mau ke kampus, nek." kataku dan tanpa menunggu pertanyaan nenek lebih lanjut, aku segera keluar.

Aku berjalan menuju garasi dan langkahku terhenti. Motor matic yang biasa kugunakan tidak ada disana. Gawat! Pasti dibawa Danny, batinku ketika aku menyadari bahwa sepupuku pasti menggunakan motor itu untuk ke sekolah. Aku masuk ke dalam rumah dan duduk manis di sofa, berdoa, menunggu dan berharap bahwa Danny akan segera pulang. Handphoneku berbunyi, tanda sebuah chat baru masuk. Aku tau itu pasti dari Iyan karena aku membuat nada notifikasi khusus untuknya.

Iyan:
Ra, kamu udah dimana?

Me:
Masih di rumah nih. Kamu dimana?

Iyan:
Aku udah di Gedung pusat sama Andika. Ini lagi antri buat bayar.

Me:
Oh oke deh. Aku masih nunggu motor nih. Sepupuku pake ke sekolah soalnya.

Iyan:
Nanti kalo udah mau jalan, kabarin yah.

Me:
Iyaaaa 😊

Aku melirik jam dilayar handphoneku. Jam setengah sebelas. Aku menarik napas panjang dan membuangnya dalam satu hembusan keras. Sekali lagi, menunggu itu membosankan dan aku tidak suka menunggu. Untuk membunuh kebosananku dan sekadar untuk membuang-buang waktu, aku meletakkan tasku di sofa dan berjalan menuju dapur. Aku mengambil piring dan mulai mengisinya dengan makanan apa saja yang bisa kutemukan di dapur. Aku kembali duduk di ruang tamu dan mulai melahap makananku.

Keringat mengucur turun dari pelipisku dan mengering diatas permukaan kaos yang kukenakan. Aku tidak tau sudah berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk menunggu. Handphoneku berbunyi. Sebuah pesan WhatsApp menunggu untuk dibuka. Dari Iyan.

Iyan:
Udah dimana, Ra?

Me:
Masih di rumah nih, Yan. Sabar yah.

Iyan:
Iya iya. Ini juga masih ngantri, tapi udah mau giliranku.

Aku mengecek jam. Astaga, jam dua belas lewat. Aku hanya bisa menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan keras. Pikiranku mulai memikirkan hal-hal yang menakutkanku. Bagaimana kalau Iyan kecewa dan marah karena aku nggak bisa nepatin janji?, batinku khawatir. Kekhawatiran itu membuatku tak nyaman dan aku pun memutuskan untuk keluar. Aku berjalan ke halaman depan dan berdiri tepat digerbang besi rumahku. Jalanan tampak sepi. Tak ada tanda-tanda bahwa sekolah sudah usai. Aku berbalik dan kembali masuk kedalam rumah dengan harapan bahwa dewi Fortuna berada dipihakku hari itu.

***

Bunyi suara motor matic perlahan mulai terdengar memasuki halaman. Garasi pun dipenuhi suara mesin yang masih menderu-deru. Kemudian mesin dimatikan. Aku segera melompat bangun dan meraih helm yang terletak diatas meja lalu mengenakannya. Tas kecilku yang berada disofa kusambar dan langsung pakai. Danny memasuki rumah dan tatapan kami saling bertumbukan. Aku mengangkat kening sekejap sebagai kode bahwa ada hal penting. Danny langsung paham. Mungkin karena dia melihat helm yang sudah terpasang mantap di kepalaku.

Rewrite The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang