Pagi itu seharusnya semua mahasiswa berkumpul di depan Gedung Pusat untuk menghadiri upacara bendera dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan. Ya, semua mahasiswa. Tapi kemalasan yang sudah mendarah daging memang tidak bisa berkompromi. Ah, Tuhan! Haruskah?, pekikku dalam hati. Aku berjalan tertatih menuju kamar mandi. Dengan niat yang hampir tidak ada aku mengguyur tubuhku dengan shower. Beberapa potongan kejadian malam itu kembali menghantamku. Hanya beberapa akan tetapi berhasil membuatku mendesis. Aku menepisnya dengan kenyataan bahwa aku dan Iyan sudah baik-baik saja sekarang. Kulingkarkan handuk mengelilingi tubuhku yang basah dan keluar menuju kamarku dengan berjinjit.
"Mau kemana, Ra?" tanya nenekku ketika melihatku melewati depan pintu kamarnya yang terbuka lebar.
Aku tak berhenti, bahkan tidak menoleh. "Mau ke kampus, Nek. Ada upacara."
Pintu kamar kukunci dan aku mulai mencari pakaian yang akan kukenakan. Sambil mengobrak-abrik lemari pakaianku, tangan kananku meraih handphone. Kulirik nama Iyan yang kusematkan. Namanya berada di tempat paling atas dari semua chat yang ada. Aku mulai mengetikkan beberapa kata pada kolom pesan.
Me:
Yan, mau datang ke kampus nggak?Aku membuang handphone itu keatas tempat tidur dan memfokuskan pandangan ke lemari. Harusnya aku nggak bingung buat milih baju. Toh ujung-ujungnya tetap menggembel.
***
Jam menunjukkan pukul sepuluh. Aku melajukan motorku di jalan raya. Iyan dan aku sudah sepakat untuk bertemu di kostan teman. Sesampainya disana, Iyan sudah duduk manis didepan pintu kostan. "Udah lama, Yan?" sapaku dengan senyum merekah. Entah mengapa, bertemu dengannya seakan selalu memberiku stimulasi semangat yang muncul entah dari mana.
"Belum lama kok." jawab Iyan membalas senyumku.
"Eh, Ra. Masuk sini." seru Marni, sang pemilik kamar.
Aku melepaskan sepatu dan masuk kedalam. Marni tampak sibuk kesana kemari dengan handuk dibahunya. Dia tampak kebingungan tapi kemudian dengan tertatih dia akhirnya segera menuju ke kamar mandi.
"Mau ikut upacara nggak?" tanyaku.
"Ehm, nggak deh. Disini aja kita. Nunggu sampe lomba dimulai baru kita pergi nonton."
Marni muncul dari balik pintu. "Lupa sabun mandi!" serunya lagi.
"Eh, Mar. Pinjem gunting kuku dong." kata Iyan.
Marni menyisihkan waktunya untuk merogoh dan mencari gunting kuku yang kemudian dia lemparkan kearah Iyan. Dia meninggalkanku dan Iyan lagi untuk melanjutkan mandinya. Aku mengambil tempat disamping Iyan sambil menyenderkan punggungku pada daun pintu. Iyan mulai sibuk menggunting kukunya. Aku meliriknya sekilas.
"Itu nggak rapi lho." ujarku protes.
Iyan terkejut, memandangi kukunya sejenak, lalu memandangiku. "Udah bagus ini."
"Nggak, nggak. Mana sini aku yang guntingin biar rapi."
Aku mengambil gunting kuku dari tangannya dengan gerakan cepat dan menarik tangannya lebih dekat kearah mataku. Tangannya hangat, batinku sambil mulai merapikan guntingannya.
"Kamu udah makan?"
Iyan menggeleng. "Belum. Kamu?"
"Belum juga. Soalnya tadi aku bangunnya telat."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Stars
RomantikCinta datang kapan saja. Hadir tanpa perjanjian. Tinggal tanpa persetujuan. Pergi tanpa permisi. Cinta tidak pernah memilih. Cinta tidak pernah berencana kepada siapa dia akan bersandar. Tidak juga denganku! Maka kamu tidak bisa menyalahkanku sebab...