Seminggu di rumah berjalan sangat lambatnya. Dulu sebulan tidak akan terasa lama olehku yang kerjanya hanya tidur. Tapi sekarang sehari saja terasa sangat menyiksa apalagi jika tidak bertemu Iyan. Aku membuka handphoneku dan meneleponnya.
"Yan," panggilku tepat ketika dering panggilan terputus.
"Iya, Ara?"
"Jalan yuk. Malas di rumah."
"Mau jalan kemana?"
"Ke toko buku. Terus temenin beli baju."
"Ya udah. Ketemunya dimana?"
"Di pom bensin biasa ya."
Iyan menyetujui dan aku langsung bergerak untuk bersiap-siap. Satu jam kemudian aku sudah menunggangi motor maticku dengan helm dikepala. Aku mengeluarkan motorku dari garasi dan segera menarik gasnya.
Hari itu sangat panas. Aku berjalan keluar dari lorong menuju rumah bibiku. Aku meninggalkan motor karena takut membawanya ke kota. Rumah bibiku pun menjadi tujuan persinggahan motorku. Jalanan sangat ramai. Aku mengecek handphone untuk melihat pesan dari Iyan. Tidak ada. Jadi nggak sih?, pikirku. Kuputuskan untuk meneleponnya.
Dering pertama...
Dering kedua..."Halo, Ra." terdengar suaranya yang tak terlalu jelas karena tertutup suara musik.
"Dimana sih, Yan? Aku udah di tempat nih."
Sabar yah, Ara. Ini macet dikit. Udah deket kok."
"Ya udah. Kalo udah sampe langsung kabarin."
Aku menunggu dengan sabar. Sesekali kuintip jam pada layar handphoneku. Aku beberapa kali mengganti posisiku berdiri karena kakiku sakit. Tiba-tiba handphoneku bergetar. Aku segera mengangkat dan menempelkannya ditelingaku.
"Dimana, Ra?" tanya Iyan dari seberang.
"Didepan minimarket nih."
"Aku udah didepan pom bensin."
"Jalan kesini sedikit."
Sambil masih menempelkan handphone ditelingaku, aku menyeberang jalan dengan hati-hati. Dari kejauhan aku melihat Iyan yang berjalan kearahku, tapi belum sepenuhnya sadar dengan keberadaanku.
"Ra, mana kamu?" tanyanya lagi.
Aku hanya bisa tertawa melihatnya kebingungan. Ketika mendengar suara tawaku dia baru tersadar bahwa aku sudah berdiri didepannya. Dia mematikan panggilan dan tersenyum kearahku.
"Maaf yah lama. Macet soalnya." ujarnya sambil menggaruk-garuk kepala.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Kami berdiri ditepi jalan menunggu angkot yang mau menepi. Setelah menemukan satu angkot yang sesuai dengan keinginan, aku mengajak Iyan untuk naik. Kami duduk bersebelahan dan langsung saja dia meraih tanganku untuk digenggamnya. Aku balas menggenggam erat tangannya. Dan yang kutau saat itu, aku ingin seperti itu untuk seterusnya.
Kami tiba di toko buku yang selalu menjadi tempat favoriteku. Aku turun duluan dan membayar si sopir lalu kembali bergantung dilengan Iyan. Kami masuk dan langsung menuju lantai dua, tempat semua jenis buku berada. Membaca memanglah hobiku sejak sekolah dan ketika aku SMA tempat ini sudah seperti rumah kedua bagiku setelah pulang sekolah. Aku menarik Iyan ke bagian novel dan mulai tenggelam dalam pencarianku terhadap sesuatu yang menarik. Aku tenggelam dalam sebuah buku dan Iyan dengan sabar menungguiku. Tiba-tiba suara bisikannya membuat keningku berkerut dan aku menatapnya dengan tajam.
"Cantik deh dia." bisiknya sambil memandang melewati bahuku.
Aku memalingkan wajahku 180 derajat untuk melihat apa yang Iyan lihat. Seorang gadis berbaju kuning sedang mencari-cari bacaan dengan teman-temannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Stars
RomanceCinta datang kapan saja. Hadir tanpa perjanjian. Tinggal tanpa persetujuan. Pergi tanpa permisi. Cinta tidak pernah memilih. Cinta tidak pernah berencana kepada siapa dia akan bersandar. Tidak juga denganku! Maka kamu tidak bisa menyalahkanku sebab...