Chapter X

24 3 0
                                    

Tinggal menghitung hari untuk Ospek. Sebenarnya aku tidak tau tujuan utama ospek itu apa, hanya saja kata itu sering sekali disebut-sebut dikalangan calon mahasiswa. Kata mereka, ospek itu adalah saat dimana para Maba (Mahasiswa Baru) dikerjai habis-habisan oleh para senior. Bahkan ada gambaran yang lebih seram lagi. Akan ada push up, skot jam, jalan jongkok, dan teriakan-teriakan senior tepat dipintu telinga. Aku tidak peduli sebenarnya. Yang kuinginkan adalah hari-hari normal untuk belajar. Untuk menjadi seorang sarjana suatu hari nanti. Bukan untuk menjadi seorang tuna rungu pada hari pertama ospek. Yang kuharap dari sebuah ospek bukan hanya pengenalan terhadap lingkungan kampus dan segala tetek bengeknya. Tapi juga pengenalan terhadap para senior yang baik, siap membantu serta panutan yang cukup untuk dibanggakan. Entahlah, batinku.

Suara klakson mobil menyadarkanku dari lamunan. Aku membanting setang motor kesamping untuk memberi jalan kepada pengemudi mobil tadi.

Motorku merayap perlahan di atas jembatan besar. Jembatan yang menjadi salah satu ikon kotaku. Tempat yang selalu menjadi pilihan orang-orang memarkirkan kendaraan mereka untuk sekadar berfoto, menikmati pemandangan atau singgah membeli beberapa jajanan yang dijual mas-mas menggunakan sepeda motor.

Diparkir dimana yah bagusnya?, batinku yang tanpa sadar melonggarkan laju motor. Aku memutar otak, mencari sebuah tempat untuk meninggalkan motorku. Ah, di supermarket aja kali yah.

***

Seperti biasa, di pusat kota memang selalu ramai. Orang-orang berhimpitan di atas trotoar yang hampir penuh dengan pedagang kecil-kecilan. Mereka memasang barang dagangannya di trotoar, mengambil alih sebagian wilayah dari pejalan kaki. Aku menenteng helmku, enggan untuk kutinggalkan ditempat parkir. Sebuah tempat duduk panjang yang terbuat dari besi menjadi pilihanku untuk bersantai sambil menunggu. Aku merogoh handphone dari saku celana dan mengecek pesan WhatsApp. Sebuah pesan dari Iyan menunggu untuk dibaca.

Iyan:
Udah dimana, Ra?

Me:
Udah didepan supermarket nih. Yang di dekat bundaran.

Iyan:
Oh, itu kamu?

Pesannya membuatku sontak melemparkan pandangan ke kanan-kiri. Tapi terlalu ramai, terlalu banyak orang. Dan untuk berharap lebih pada mataku yang hampir buta ini? Percuma. Aku hendak mengetikkan pesan hingga tiba-tiba bahunya menabrak bahuku. Dia mengipas-ngipasi wajahnya yang mulai berkeringat.

"Aku udah dari tadi nunggu disitu." ujarnya sambil menunjuk-nunjuk supermarket.

"Aku lewat situ kok nggak liat kamu?"

"Kamu lewat juga aku nggak lihat lho."

Aku memberengut. Mulutku monyong dan aku mendengus perlahan.

"Kamu naik motor? Mana motornya?"

Aku mengangguk. "Di parkir disebelah sana. Di parkiran supermarket."

"Jadi, mau beli perlengkapan dimana?" tanyanya lagi, mungkin lebih kepada usaha untuk membuatku berbicara dari pada sungguh-sungguh bertanya perihal tempat yang akan kami tuju.

Aku mengeluarkan suara dengungan keras agar dia tau bahwa aku sedang berpikir. Suara keramaian mampu meredam dengunganku jika aku tidak berupaya untuk sedikit meneriakannya. Dia menunggu jawaban diujung dengung itu.

"Di toko alat sekolah," ujarku.

Tentu saja dia bingung. Sudah bisa dipastikan bahwa tidak ada toko peralatan sekolah yang diketahuinya kecuali mungkin toko buku besar favoritku itu. Ralat, toko buku besar favorit kami. Tempat dimana pertama kali aku merasakan ciumannya diantara deretan rak-rak buku yang rendah.

Rewrite The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang