Chapter XIV

40 2 5
                                        

Satu minggu berlalu tak terasa. Seperti biasa, aku tiba di rumah ketika hari sudah mulai gelap. Hawa dingin menusuk kulit saat aku selesai mandi. Handuk melingkar di tubuhku dan aku setengah berjinjit menuju kamar, berusaha meninggalkan sesedikit mungkin air yang menetes ke lantai. Aku mengenakan pakaianku dan meraih handphone yang tergeletak diatas tempat tidur. Aku mengantonginya dan melenggang keluar menuju dapur. Perutku keroncongan. Padahal seingatku Iyan mengajakku makan tadi sore. Aku tidak peduli. Aku menarik piring dari rak hingga meninggalkan bunyi yang ribut. Aku menyambar sebuah sendok dan segera menuju tempat nasi dimasak. Setelah itu pergi mencari lauk. Tak banyak yang bisa dipilih. Hanya ada satu macam sayur. Dan hanya itu.

Suapan terakhir, tapi pikiranku masih mengembara pada sore yang indah. Berdua, boncengan, pelukan. Banyak orang pasti merasa tergelitik. Merasa lebay. Apanya yang indah yah kan? Biasa saja. Terlalu melebih-lebihkan. Yah, bagiku itu lebih dari indah. Ketika melakukan hal-hal kecil sederhana dengan orang yang juga mencintaimu. Berharga. Aku tersenyum. Setelah sadar bahwa aku mulai senyum-senyum sendiri, aku segera bangkit dan pergi mencuci piring bekas makanku sebelum ada orang yang melihatku tersenyum tanpa sebab. Aku berlari menuju kamar tentunya dengan satu alasan. Tubuhku terbanting diatas kasur dan tanganku segera merogoh handphone keluar dari saku. Jariku menekan tombol panggilan video pada sebuah kontak yang berada dideretan paling atas daftar chatku. Dering beberapa kali, lalu diangkat. Aku melihat wajah Iyan di layar handphoneku. Manis sekali. Dia sedang berbaring dikasurnya dan tersenyum padaku.

"Yan," panggilku. "Udah makan?"

"Udah, ra. Ara sendiri gimana?" tanyanya masih dengan senyum yang tersungging.

"Aku baru aja selesai makan."

"Bagus. Makannya yang banyak yah."

Aku terkekeh. Kemudian terdiam. Bukan karena kehabisan topik. Tapi lebih kepada aku ingin menatapnya, setiap inci dari wajah menakjubkan itu. Tiba-tiba sebuah seruan membuyarkan kekagumanku.

"Yan, aku dipanggil nenek. Bentar yah." ujarku sambil dengan tergesa-gesa bangkit dari tempat tidur.

"Ya udah pergi sana."

"Aku matiin dulu yah." kataku disambut dengan anggukan kepalanya sebagai tanda setuju.

Aku menghampiri asal suara. Nenekku tengah duduk diujung tempat tidur sambil memegang handphone ditangannya. Dia menyodorkanku handphone itu.

"Mamamu telpon. Mau bicara katanya." ujar nenek.

Aku mengambil handphone yang disodorkan dan langsung menempelkannya pada telingaku. Tidak terdengar apapun diseberang sana. Aku keluar dari kamar nenek dan duduk di sofa.

"Halo?" kataku memulai percakapan.

"Halo, Ra." balas mama.

"Kenapa ma?"

Tidak langsung dijawab. Terdengar suara tarikan napas diseberang sana. Aku bingung.

"Ara punya hubungan apa sama Iyan?" tanya mama to the point.

Deg! Jantungku berdebar dua kali lebih cepat. Aku gelagapan. Kerongkonganku seketika kering.

"Nggak ada, ma." jawabku seadanya sambil berharap tak akan ada lagi pertanyaan-pertanyaan.

"Masa? Jangan bohongin mama. Mama tahu kok, Ra."

Aku makin gugup mendengar ucapan mama. Ujung-ujung jemariku membeku. Degupan jantungku kini terasa hingga ke pelipis.

"Iya, ma. Ara sama Iyan nggak ada apa-apa. Kita temenan kok." aku berusaha meyakinkan mama dengan suara yang mulai bergetar.

"Ra, mama ini mama kamu sekaligus psikolog lho. Mama tahu."

Rewrite The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang