Pagi itu terasa sangat berbeda. Matahari seakan telah menemukan sisa sinarnya yang telah lama hilang. Cahayanya yang hangat saat menyentuh kulitku tidak lagi menyakitkan. Aku meraih handuk, membuka pintu kamarku dan berjalan dengan sedikit menari kearah kamar mandi. Air dingin membasahi tubuhku memberi kesegaran dan semakin memperjelas perasaanku diawal hari itu. Senandungku memenuhi kamar mandi. Perasaan menggebu-gebu didalam hati seperti alunan nada dengan simfoni yang terpilin indah. Aku memakan waktu sejam untuk mandi dan setengah jam untuk berpakaian dan bersolek, tapi ujung-ujungnya aku tetap menjadi Arasta dengan gaya gembel. Aku mengambil handphoneku dan menghubungi Lisa untuk memberitahunya bahwa aku sudah siap untuk pergi. Tumben dia nggak nelpon atau chat. Mungkin aku yang terlalu bersemangat sampe bangun kecepetan, batinku.
"Halo, Lis. Dimana kamu?" tanyaku tepat ketika telepon dijawab.
"Baru bangun," jawabnya lemah sambil berusaha mengumpulkan nyawanya.
"Mau pergi nggak?"
"Kayaknya nggak deh. Masih mau tidur ini."
Aku hanya membeo dan langsung mematikan panggilan tersebut. Kini aku harus mencari cara lain agar bisa pergi. Bibiku keluar dari kamar sudah dengan berpakaian rapi. Mungkin ini yang dinamakan ridho Allah, tanpa membuang-buang waktu aku segera menghampirinya dengan wajah yang mengimut.
"Bi, udah mau pulang yah?" tanyaku dengan nada yang diusahakan semanis mungkin.
"Iya, Ra. Kamu mau kemana udah dandan begitu pagi-pagi?"
"Mau ke kampus, Bi. Masih ada urusan sama mau cari-cari info."
"Ada yang antar?"
"Nggak ada. Lisa nggak pergi. Katanya nunggu berita dari aku aja."
"Ya udah, bareng sama bibi aja."
"Makasih bibiku yang cantik."
Didalam mobil aku mengambil kesempatan untuk merapikan bedakku yang sedikit tebal disana-sini akibat gerakan tergesa-gesa tadi dan sedikit menambahkan warna merah dibibirku. Hari ini untuk pertama kalinya aku menggerai rambutku. Kubiarkan rambut itu terjuntai dan bermain-main ketika angin berhembus melalui jendela yang terbuka. Iyan bakal suka nggak yah kalo rambutku nggak diikat?
Mobil yang kutumpangi berhenti di pertigaan. Dari situ bibiku akan mengambil simpang kiri sedangkan kampusku harus berbelok ke kanan.
"Bibi cuma bisa sampe sini. Nggak apa-apa kan kalo kamu jalan?" tanya bibiku sambil menepikan mobilnya.
"Iya, Bi. Nggak apa-apa kok. Udah dekat juga tuh."
"Hati-hati yah, Ara."
Setelah mengucapkan terima kasih, aku turun dari mobil dan menyeberang jalan. Kulirik handphoneku, mengecek apakah ada pesan dari Iyan atau tidak. Dan ternyata ada. Dengan sigap kubuka pesannya.
Iyan:
Ra, udah dimana? Lama amat.Me:
Udah deket nih, sabar dong.Iyan:
Cepetan! Udah nggak sabar aku mau ketemu Ara.Aku cengengesan sendiri membaca pesannya. Entah mengapa aku merasa hari ini dunia terasa berbeda. Daun-daun lebih hijau dari biasanya. Orang-orang lebih banyak tersenyum dari biasanya. Angin berhembus lebih akrab dari biasanya. Aku berjalan mendekati halte didepan kampus dan melihat seseorang yang kukenal duduk disitu.
"Marni." sapaku.
"Eh, hai Ra." sapanya balik.
"Sendirian? Mana yang lain?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Stars
RomanceCinta datang kapan saja. Hadir tanpa perjanjian. Tinggal tanpa persetujuan. Pergi tanpa permisi. Cinta tidak pernah memilih. Cinta tidak pernah berencana kepada siapa dia akan bersandar. Tidak juga denganku! Maka kamu tidak bisa menyalahkanku sebab...