Chapter XII

19 4 0
                                    

Gedung olahraga penuh dengan suara musik yang sangat keras. Para calon mahasiswa tengah merayakan hari terakhir Ospek. Itu berarti hari untuk bersenang-senang telah usai dan hari-hari belajar sudah menunggu. Aku berdiri ditengah kerumunan manusia yang sibuk berjoget mengikuti dentuman musik. Badanku ikut bergerak, hanya saja sangat pelan bahkan hampir tak tampak. Aku berdiri sendiri, tentu saja, dengan rasa jengkel yang mendidih. Iyan entah ada dimana. Beberapa orang yang mengenalku berusaha mengajakku untuk bergerak lebih heboh lagi, tapi hanya kulempari senyum tipis dan anggukkan kepala yang tidak bersungguh-sungguh. Dengan perasaan dongkol sangat tidak mungkin aku bisa berjoget seakan-akan aku sangat menikmati dentuman lagu itu. Mataku bergulir mencari sosok Iyan ditengah lautan manusia. Akhirnya kudapati dia sedang berfoto. Gigiku bergemeretak saling bergesek satu dengan yang lain. Aku mendengus, sangat kesal. Saking kesalnya, rasanya hidungku akan menyemburkan api yang menjilat-jilat. Bagus! Aku ditinggal sendiri terus dia pergi foto-foto. Sia-, aku segera menarik napas panjang dan menghembuskannya lagi kuat-kuat. Berharap bahwa emosiku akan keluar bersamaan dengan karbon dioksida tersebut.

Aku berjalan menghampirinya dan menarik tangannya berharap itu juga akan menarik perhatiannya. Dia memandangiku beberapa detik lalu badannya mulai bergerak seiring lagu. Dia menggodaku. Emosiku masih bergejolak, belum bisa runtuh dengan candaannya. Matanya enggan meninggalkan mataku dan gerakan badannya kian kentara. Aku memutar mataku dan meletakkan kedua tanganku pada pundaknya. Aku meremas pundaknya erat berusaha untuk menghentikan gerakannya. Tapi dia bergoyang semakin kuat. Dia menangkap pundakku dan digoyang-goyangkannya tubuhku seiring dengannya.

Aku berjalan kebelakangnya dan membuka ikatan rambutnya. Dia masih bergoyang kesana-kemari. Aku menguncir rambutnya lagi lebih rapi agar tidak teracak. Tiba-tiba seseorang menghampiri kami.

"Yan, foto bareng yuk." ajak seorang gadis berjilbab sambil menarik tangannya.

"Ayo, Ra." Iyan mengajakku tapi aku enggan dan hanya menggeleng.

Aku hanya berdiri terpaku menatapnya yang ditarik menjauh. Aku kembali sendirian. Sendiri ditengah keramaian. Mataku tak lepas darinya. Aku mengamati mereka. Gadis tadi menatap Iyan lamat-lamat, lalu membuka ikatan rambutnya. Jantungku berdetak sekali lebih kencang. Aku melangkah maju tapi kemudian kutahan. Gadis itu mengacak-acak rambutnya dan membiarkannya tergerai tak terikat. Anjing bener. Itu aku yang rapihin bangke!, teriakku dalam hati. Pelipisku berkedut menahan amarah. Aku berjalan mendekat tak peduli jika mereka tidak menghiraukan kehadiranku. Setelah mereka selesai berfoto, aku segera menarik Iyan dan menguncir rambutnya lagi.

"Maksudnya apaan sih? Ini aku udah rapihin malah dibuka lagi. Jengkel banget sumpah!" keluhku dengan nada tinggi.

"Ya ampun, Ra." Iyan hanya bisa tertawa kaku.

"Apa?! Aku udah rapihin lho! Malah seenaknya dibuka!"

"Iya iya, Ra. Ikat lagi ayo. Ikat rambutku lagi."

Aku mengikat rambutnya kembali dengan rasa jengkel yang memuncak. Akhirnya acara penutupan selesai. Aku dan Iyan berjalan beriringan perlahan ke jalan besar.

"Yan, si Andika nyuruh kita ke kostan. Mau bikin acara katanya." ujarku.

"Yaudah, boleh. Kita langsung ke kostannya aja."

***

Pintu kamarnya terbuka lebar. Aku dan Iyan mengintip sekejap hanya untuk memastikan bahwa penghuninya sedang berada didalam. Andika menghadap laptopnya sambil tatapannya terpaku pada handphone ditangannya. Dia tidak sendiri. Ada seseorang yang juga tengah sibuk dengan handphonenya. Sepertinya mereka sedang bermain game. Sebuah lagu dengan tempo cepat bergema di sudut-sudut kamarnya. Dia tersenyum lebar saat melihat kami muncul.

Rewrite The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang