Jantungku berpacu semakin cepat ketika sepeda motor yang kunaiki bersama Lisa memasuki gerbang kampus. Hari ini aku akan mengikuti tes masuk. Apakah aku siap? Tentu saja tidak. Aku tidak belajar malam sebelumnya. Dan kalau pun belajar, otak karatanku ini pasti tidak akan bekerja. Lisa menurunkanku didepan jurusan dan aku pun melangkah masuk dengan ragu. Sudah banyak orang yang berkumpul didepan pintu untuk mengecek nama mereka dan ruang mana yang akan mereka masuki untuk mengikuti tes. Aku berdempetan dengan mereka, berusaha keras agar aku dapat membaca namaku. Aku mengangkat kacamataku yang turun sedikit dan menelusuri kertas yang ditempel dipintu dengan jariku. Arasta Reananda, oke ketemu. Hmm, ruangannya sesuai nomor peserta yah, batinku. Aku pun mencari nomor pesertaku pada pintu tiap-tiap ruangan. Akhirnya aku menemukan nomorku pada pintu ruang 3. Aku melongok kedalam ruangan. Masih kosong, hanya ada 2 orang laki-laki yang sudah duduk manis dibagian belakang. Aku belum ingin masuk. Tidak siap, lebih tepatnya. Aku memutuskan untuk berdiri didepan ruangan sambil mengutak-atik handphoneku. Masih ada dua jam lagi sebelum tes. Ya ampun, gugup banget, celetukku dalam hati. Sesekali aku melirik orang-orang yang berlalu-lalang untuk mencari nomor mereka. Tidak ada yang kukenal. Semua wajah begitu asing dan aku tidak berani untuk membuka pembicaraan duluan.
"Ehm, permisi. Jam berapa yah?" tanya seorang gadis yang berdiri tepat didepanku.
"Jam delapan." jawabku singkat setelah melirik jam pada layar handphoneku.
"Aduh masih lama." keluhnya.
"Udah dari tadi disini?"
"Iya, lumayan. Dari jam tujuh pagi. Takut telat soalnya, hehehe."
"Tapi kan tesnya jam sepuluh."
"Iya sih," balasnya sambil tertawa renyah. "Oh yah, namaku Icha."
"Aku Arasta."
"Bentar-bentar," kata seorang gadis lain yang bertubuh sedikit berisi. "Tesnya jam berapa?"
"Jam sepuluh," jawabku.
"Ya ampun. Udah bela-belain datang subuh eh ternyata tesnya jam sepuluh."
"Dari luar kota?" sambung Icha.
"Iya, baru datang tadi pagi buat ikut tes."
"Wah, beruntung yah." kata Icha lagi dan membuat kami bertiga tertawa.
"Namaku Lilis."
"Aku Icha, itu Arasta."
"Terus ruangan kalian yang mana?" tanyaku.
"Ini!" seru mereka berbarengan sambil menunjuk ruang 4.
"Berarti aku sendiri dong disini?" ujarku sambil menunjuk ruang 3.
Mereka berdua terkekeh. Aku memasang muka sembutku. Icha dan Lilis hanya melanjutkan tawa mereka. Tiba-tiba seseorang berlari-lari menghampiri kami.
"Tau ruang satu yang mana?" tanyanya tiba-tiba.
"Yang itu." Lilis menunjuk sebuah ruangan disebelah kanan.
"Oh makasih. Eh, tau tesnya jam berapa?"
"Jam sepuluh." jawab kami bertiga berbarengan.
"Jam sepuluh? Ya Allah, kirain jam delapan." keluhnya.
"Eh namaku Icha. Yang ini Lilis terus yang itu Arasta." kata Icha memperkenalkan dirinya dan kami satu persatu.
"Aku Anisa." balasnya sambil tersenyum.
Dia berdiri disamping Lilis sambil mengatur hijabnya yang sedikit amburadul akibat aksi lari-lariannya tadi. Aku memandangi mereka bertiga dari seberang. Oke, lumayan. Udah dapat tiga orang yang mau ngobrol sama-sama, batinku. Fokusku teralihkan dengan chat WhatsApp yang masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Stars
RomanceCinta datang kapan saja. Hadir tanpa perjanjian. Tinggal tanpa persetujuan. Pergi tanpa permisi. Cinta tidak pernah memilih. Cinta tidak pernah berencana kepada siapa dia akan bersandar. Tidak juga denganku! Maka kamu tidak bisa menyalahkanku sebab...