19 ; Turun

111 25 0
                                    

Katanya, jarak usia yang jauh dalam hubungan itu tidak masalah.
Karena, hubungan membutuhkan komitmen bukan usia.

Lalu, apa bisa kita bersama?

. . .

"Kita mau kemana sih, Lang?"

"Ke Bandung."

"WAH?"

"GILA YA?"

"APA-APAAN SIH?"

"AKU GAMAU, AYO TURUN!"

"turun saja, Al. Akan aku turunkan di rest area sana. Hati-hati kalau ada om-om tanya harga."

Langit membelokkan mobilnya ke arah rest area, Langit tidak benar-benar akan menurunkan Alika.

"kok jahat sih? Emang kamu mau aku dibawa om-om?"

"Turun, katanya tadi mau turun."

Alika memalingkan tatapannya ke arah depan. Memasang muka masam dan cemberut karena ulah Langit. Lelaki ini terkadang membawanya ke atas lalu menurunkan nya ke dasar jurang.

Langit membuka pintunya dan turun dari mobil. Alika heran dengan perilaku Langit sekarang. Masa gadis sekecil dan semanis dia harus diturunkan disini?

Alika mengekori Langit yang sedang duduk dibawah pohon yang rindang. Sejuk, rasanya.

Hening, Langit hanya menatap lurus ke arah teriknya matahari. Mengamati awan-awan diatas sana yang terlihat bergerak. Dan mengawasi teriknya matahari agar tidak mengenai gadis kecilnya.

"Bahkan, jika kamu menangis darah dan memaksaku untuk menurunkanmu di jalan atau membawamu pulang. Aku tidak akan melakukannya."

Alika tidak merespon, ia masih saksama mendengarkan penuturan Langit.

"Kamu tanggung jawabku, mulai sekarang."

Apa katanya? Tanggung jawab?

Apa aku menjadi istrinya secara tidak langsung?

Ya ampun, pikiranku!

"Aku disini, dan akan tetap disini." Kali ini, Langit mulai menoleh dan mencoba untuk menatap Alika. Yang ditatap hanyalah diam membisu, menundukkan kepalanya karena wajahnya yang merona.

"tak bisakah kamu menatap wajahku barang sebentar saja, Al?"

Langit masih menunggu Alika untuk menatapnya, tapi gadis kecil itu masih enggan untuk mengangkat wajahnya.

"Gadis ini benar-benar!" Langit hanya menggelengkan kepalanya dibarengi dengan tawanya yang kaku.

"Ikut aku ke Bandung sebentar, akan aku tunjukkan tempat sekolahku dulu."

Langit menyentuh jari-jari tangan Alika, mengusapnya pelan, "Lentik sekali jarimu, lihatlah! Jarimu ini indah, tanganmu indah. Terlalu indah untuk disakiti."

Alika mulai mengangkat wajahnya dan segera menatap Langit, menatapnya sendu karena lukanya yang tak kian sembuh.

"Jika aku bisa membereskan ini semua dan tidak menyakiti diriku sendiri lagi apa kamu akan tetap disini?"

Langit tersenyum, "tentu, Al! Lagipula, apalagi yang harus aku lakukan selain menjagamu?"

Dan akhirnya, Alika akan terus jatuh pada Langit. Menginginkan Langit seutuhnya untuk menjadi miliknya.
Tapi, usia mereka dan posisi mereka saat ini tidak memungkinkan untuk bersatu.

. . .

Selama di perjalanan, Alika terus berceloteh mengenai segala sesuatu yang ia ketahui. Mulai dari sensasi-sensasi artis Indonesia, hingga cerita dalaman salah satu idol kpop yang terjual dengan harga tak murah.

"Lang, ga bosen apa dengerin cerita aku terus?"

Langit hanya menggeleng pelan sembari fokus menyetir dan mengunyah chips yang disuapi oleh Alika.

"Lebih baik dengar lagu koplo Kesukaanmu, Lang. Daripada mendengarkan aku terus."

Langit menggeleng lagi. "Tidak, suaramu sudah cukup baik untuk aku dengarkan. Teruslah bercerita. Justru jika kamu berhenti bercerita, aku akan bosan."

Alika diam-diam tersenyum, merasa tenang dan hangat atas perkataan Langit tadi. Langit sangat pintar membuat lawan bicaranya merasa nyaman.

"Kalau begitu kita main tanya jawab saja, aku yang bertanya lalu kamu yang jawab ya."

Langit menganggukan kepalanya, "tanya apa saja asalkan jangan tanya kapan aku menikah," Alika tertawa mendengar itu, selera humor Langit tidak terlalu buruk ternyata.

Yang dikejar, Pergi. | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang