45 ; Semua akan berbeda

145 20 6
                                    

Pernah sama-sama begadang melewati malam. Pernah sama-sama kecewa sebab kegagalan. Lalu berusaha saling menguatkan sebelum akhirnya harus saling merelakan hidup dengan jalan masing-masing. Pelan-pelan menjadi jauh dan asing. Semoga kamu bahagia, apapun akhirnya kita terima.

-Boy Candra

. . .

Atmosfer ini yang Alika benci, atmosfer dimana suasanan menjadi canggung tak menentu. Atmosfer dimana Alika harus mengkukuhkan hatinya untuk tidak jatuh lagi. Atmosfer dimana Alika dan Langit tidak bisa menjalani hari seperti biasanya. Alika membenci ini.

Gadis itu membiarkan Langit masuk ke rumahnya setelah izin untuk mampir sebentar. Tapi, nyatanya ini sudah hampi dua jam dan mereka masih bungkam. Duduk di ayunan balkon dengan semilir angin hangat dan ditemani secangkir teh hijau panas.

"Al?" Gadis itu menoleh, langsung menyorot mata prianya. Melihat apa ada rasa rindu disana, tidak ada sepertinya. "Kenapa?" Pikiran Alika berisi teriakan-teriakan yang memberitahunya bahwa pria itu sudah ada yang punya. Jadi, tidak usah berusaha keras lagi untuk meraihnya. "Tumben diam, tidak mengirim pesan pula. Bagaimana kabarmu?"

Masih saja bertanya? Batinnya.

Alika memilih memutus kontak tatapannya, mengalihkan ke arah vas bunga di meja. Memperhatikan kelopak bunganya yang mulai rontok. "Aku baik, sangat baik malah." Bohongnya. Ini tidak biasa, karena jika Alika sedang berbicara dengan Langit pasti gadis itu menatap mata prianya terus. Tapi kali ini berbeda, dirinya mencoba untuk menghindar.

"Alhamdulillah kalau begitu, orang tuamu bagaimana? Sepertinya tidak di rumah, ya?" Tanyanya. Entah kenapa Alika merasa muak, Langit seperti mencoba berbasa basi. "Mereka juga baik. Semakin baik semenjak berpisah," Alika menyeruput teh hijaunya. Masih dengan mata yang menatap ke arah kelopak bunga.

"Berpisah? Maksudmu bercerai?"

Alika hanya mengangguk. "Lalu bagaimana denganmu, Elang?" Langit tersentak, bingung dengan nada bicara Alika. Rasanya aneh saat gadis itu memanggil nama lahirnya. "Hmm, cukup baik. Kerjaanku lancar, dan emm,

"Apa?"

"Aku mau lamaran minggu depan, datang ya?"

Sudah gadis itu duga, ini akan terjadi. Alika menghembuskan napasnya kasar, merasa ada yang mengkoyak hatinya. Ini bukan waktu yang tepat untuk menangis-nangis ria di depan pria itu. Alika menggigit bibir bawahnya, sedikit ragu untuk memberi respon. "Oh ya? Bagus, kamu akan berkeluarga berarti. Hiduplah dengan bahagia." Gadis itu sedikit tidak rela melepas Langit, tapi apa boleh buat?

"Ya, aku bersyukur. Wanitaku yang 7 tahun itu kembali," Ujarnya dengan senyum yang lebar.

Wanitaku, ya?

Alika menaruh cangkir yang dipegangnya sejak tadi, mencoba untuk berpikir dengan akal sehatnya. Ini menyakitkan tapi tidak ada yang bisa diperbuat lagi. Pria itu akan pergi, sebentar lagi. "Kalau begitu, aku mau belajar. Silahkan kembali ke rumahmu," Ucapnya sedikit mengusir.

Langit menaikkan alisnya sebelah, "Tumben? Mau aku temani? Aku sedang tidak ada jadwal hari ini. Aku free, bagaimana?" Alika segera menggelengkan kepalanya, "Pulanglah, tidak baik calon manten bersama orang lain. Nanti calon istrimu ngamuk kalau tau, selamat atas kembalinya hubungan kalian." Gadis itu mengatakan dengan paraunya. Mungkin Alika bukan perempuan yang baik untuk Langit.

"Baiklah, jaga dirimu baik baik. Jangan lupa makan, aku pulang dulu. Assalamualaikum," Katanya seraya mengusak pelan pucuk kepala Alika.

Rasanya masih sama, tangan lembut itu. Mengusap hangat dengan pelannya, membuat dirinya rindu. Lalu air mata itu turun tanpa persetujuan. Mengalir dengan anggunnya diiringi isakan. Alika menyentuk pucuk kepalanya, merasakan tangan hangat itu lagi. Tangan yang pernah menggenggam erat dirinya. Tangan yang pernah merangkul erat dirinya.

Kini semua akan berbeda, begitu kedepannya. Tidak akan ada lagi hari-hari picisannya bersama Langit.

Yang dikejar, Pergi. | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang