25 ; Memanggilku sekarang?

107 21 1
                                    

Langit memang bukan pria yang banyak bicara dan banyak tingkah. Langit juga bukan sesosok pria yang menyebalkan. Di jaman sekarang, mana ada pria cerdas dan tampan yang menyebalkan? Jika ada, Langit adalah pengecualian.

Pria itu adalah definisi dari calon imam yang didambakan banyak wanita saat ini. Pekerjaan tetap, wajah tampan, kepribadian yang baik sudah cukup untuk membangun rumah tangga harmonis kan?

Makanya, Alika selalu menyebut Langit sebagai calon imam karena omongan adalah doa. Tentu tanpa sepengetahuan Langit. Gadis itu hanya akan menyebut calon imam jika sedang membicarakan Langit bersama teman-temannya.

Saat ini Alika sedang liburan kenaikan kelas. Baru hari pertama libur, Alika sudah merasa gundah. Tidak nyaman karena selama 3 minggu akan tidak bertemu dengan teman-temannya. Belum lagi perihal Langit, pria itu entah sedang apa.

Sudah hampir 5 hari Alika tidak bertemu Langit semenjak pesannya yang tidak dibaca itu. Ralat, dibaca sebetulnya. Tapi hanya dibaca saja, ingat kata itu. Hanya di baca saja.

Alika tidak mengirim pesan lagi setelah itu, ia bingung. Alika bingung dengan perasaannya sendiri, tidak biasanya Alika berhenti mengirim pesan kepada Langit. Seharusnya gadis itu menelepon atau mengirim pesan berupa sapaan kepada Langit tapi gadis itu memilih untuk tidak menyapa sama sekali.

Marah? Jujur, Alika memang marah karena perubahan sikap Langit. Tapi tidak dalam tingkat yang sangat. Hanya sekedar marah dan kesal saja. Lagipula, pria itu juga tidak memberi kabar apapun lagi pada Alika.

Oh, ayolah! Memang Alika siapanya Langit sampai harus diberi kabar? Alika cukup sadar akan hal itu dan cukup tahu diri untuk tidak mengganggu Langit terus menerus.

Langit tidak pernah lepas dari pikiran Alika. Kapanpun dan dimanapun, pasti Langit selalu terlintas di pikirannya. Kalian pasti berpikir bahwa gadis itu gila, tentu saja tidak seperti itu. Alika hanya senang memikirkan Langit walaupun belum tentu pria itu memikirkannya kembali.

"Langit sedang apa ya?" Tanyanya pada diri sendiri. Duduk di dekat jendela yang mengarah langsung ke rumah Langit, sesuatu yang sering ia perhatikan Selama 5 hari terakhir ini. Bahkan, Alika sangat rutin memeriksa status online Langit di aplikasi whatsappnya.

Beberapa kali Alika melihat status online itu bertengger disana. Berharap Langit online untuk memberi kabar atau sekedar sapaan pada Alika. Namun kenyataan kembali menamparnya, Alika bukanlah siapa-siapa bagi Langit. Jadi, kabar dalam pesan bukan suatu hal penting untuk dilakukan pria itu.

"Aku rindu sekali dengan pria itu, menyebalkan sekali sih!" Alika merutuki dirinya sendiri, merindu sendiri dan jatuh sendiri. Kapan sih gadis itu bisa jatuh bersama? Dunia sangatlah tidak adil!

Alika masih betah memperhatikan jendela kamar Langit di seberang sana. Sampai suara keras menginterupsi perhatiannya.

BRAK!

"Laki-laki bajingan! Bagaimana bisa sih pria kotor sepertimu ini lahir kedunia?! KAU ITU LAKI-LAKI SIALAN!"

Alika mulai ketakutan, mendengar suara ribut itu lagi. Suara Ibunya, suara barang terlempar. Semua suara menjadi satu, sangat berisik.

Alika membuka sedikit pintu kamarnya, mencoba untuk tidak bersuara sedikitpun dan melihat apa yang terjadi.

Benar saja, Ibunya sedang memaki Ayahnya di depan saja. Tidak jauh posisinya dari Alika, cukup jelas untuk dilihat dan didengar. "KAU YANG PEREMPUAN SIALAN! SELAMA INI AKU BEKERJA UNTUK MENCARI UANG, MEMBIAYAI HIDUP BUKAN UNTUK KAU HAMBURKAN!" ayahnya mulai melempar piring keramik ke arah Ibunya gadis itu. Tapi untung saja tidak kena.

Alika segera keluar pintu dan melindung Ibunya, "berhenti, Ayah! Sudah jangan bertengkar terus, nanti tetangga bisa dengar!" Sepertinya tindakan Alika sangatlah salah, karena Ibunya tidak menghargai tindakan putrinya itu.

"Apa apaan kau?! Mau cari mati disini?! Masuk kamarmu, Alika!" Ibunya menarik tangan Alika secara kasar, menghantamkannya ke arah pintu kamar gadis tersebut. "Berhenti ikut campur urusan kami!" Tangan halus dan lentik milik ibunya dengan anggun menampar wajah Alika.

Bukan tamparan biasa kali ini, tapi tamparan yang sangat keras bahkan sampai Alika hampir tidak bisa merasakan pipinya lagi.

Ayah, tolong aku. Kumohon!

Ayahnya sedari tadi hanya memandanginya tanpa rasa iba. Menatap gadis kecilnya dengan tatapan amarah.

Apa salah jika seorang anak memohon agar orang tuanya berhenti bertengkar?

Alika hanya dapat berkata sakit dengan nada yang sangat lirih. Suaranya penuh pilu, hatinya terombang ambing, batinnya bergelut, fisiknya tak bisa menahan lagi.

Ibunya terus menjambak, memukul, mendorong. Menyiksanya dengan membabi buta seakan gadis itu bukanlah anak kandungnya. Seakan manusia yang dipanggil Ibu itu tidak memiliki rasa kemanusiaan.

Siksaan ini berlangsung cukup lama, hingga tamparan terakhir menjadi penutup siksaan dari Ibunya.

Alika terkulai lemas di depan pintu kamarnya, matanya yang sangat amat sempab masih bisa melihat kepergian ayah dan Ibunya yang meninggalkan kediaman mereka saat ini.

Apa tuhan mau memanggilku sekarang?

Yang dikejar, Pergi. | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang