06

49 6 8
                                    

°°°

"Kita beli yang baru, ya? Mau?" 

Ella menggeleng.

Senggukkannya masih terdengar. "Nggak ada yang se-spesial sepatu ini, sama aja, Gal." 

Sore sepulang sekolah itu, Ella mampir ke cafe milik Regal. Lelaki yang ia cintai sedari kecil itu, ia percaya dia mampu menenangkan kegelisahan dirinya. 

"Yaudah, nanti kita cari sampai ketemu, ya?"

"Mau cari kemana lagi? Di sekolah aja nggak ada. Lagipula, hilangnya, kan di sekolah."

Regal tersenyum, mengelus pucuk kepala Ella kemudian mengelap air mata yang mengalir di pipi bidadari kecil dihadapannya. "Yaudah, sekarang pulang, ya? Lu capek. Lihat tuh, mata lu sembab. Udah waktunya buat istirahat."

Ella merengek. "Nggak. Gue maunya disini, sama lo, Gal." 

Regal menggeleng sambil tersenyum halus. "Udah malem. Besok lu sekolah juga. Pulang, ya? Gua anterin. Gua nggak mau lu sakit, karena kurang istirahat."

Ella menghentak. "Lo nggak mau gue disini karena gue ngeribetin aja, kan bisanya? Iya, kan? Kalau nggak mau gue ganggu, tinggal bilang aja lo nggak suka gue ada disini. Nggak usah pake-pake alasan nyuruh gue buat istirahat." Detik selanjutnya, Ella beranjak menuju pintu cafe dan segera keluar, tanpa memedulikan Regal yang mengejar dibelakangnya.

"Gue pulang sekarang, dan jangan ikutin."

Regal terdiam didepan cafe nya dengan tangan kanannya yang terangkat seakan hendak memberhentikan Ella. Cinderella itu menangis tersedu-sedu. Menahan kejamnya dunia atas dirinya. Memikul beban yang semakin berat di bahunya. Harusnya, ia sekuat baja seperti kata almarhum ayahnya. Tapi, ia juga bisa serapuh almarhumah ibunya.

BUG.

"Astaga, maaf, Pak. Mata saya ketutupan buku yang saya bawa." 

"Ini ngapa gua nabrak orang melulu si?"

Sayup-sayup Ella mendengar suara yang familiar dibelakangnya. Segera, ia memutarbalikkan badannya kemudian membantu lelaki yang entah siapa itu yang sedang kesulitan membereskan buku-bukunya yang berserakan di aspal jalan khusus pejalan kaki. Mengetahui seorang gadis turut membantu kesulitannya, si lelaki merasa tidak enak hati.

"Eh, nggak usah repot-repot. Ini salah gua sendiri, kok." Ragil tersenyum tanpa menatap lawan bicaranya

Dengan suara bergetar yang dipaksakan, Ella menjawab. "Nggak apa-apa. Lain kali hati-hati, ya." 

Mendengar suara serak dan bergetar karena tangisan, Ragil mendongakkan kepalanya. Berusaha mengenali siapa lawan bicara yang membantu memunguti buku-buku kesayangannya. Detik selanjutnya, Ragil terkejut bukan main. Di tangkupnya lengan atas  kanan Ella. "Lu kenapa!?"

Tidak kalah terkejutnya sebab digenggam lengan atasnya oleh si lelaki, Ella mendongakkan wajahnya. Spontan gadis itu menatap bola mata sekelam malam dihadapannya dan tenggelam didalamnya. Namun tak lama, gadis itu kembali merunduk dan mempercepat aktivitas memunguti buku-buku yang cukup banyak di aspal sana.

"Sama-sama."

Setelah selesai, Ella menyodorkan tumpukan buku-buku itu ke tangan Ragil seraya mengucapkan kata yang tidak terduga. Ella segera melanjutkan perjalanan menuju rumahnya yang masih cukup jauh. Tepat di halte, ia memberhentikan Kopaja nomor 57 yang berlalu dihadapannya. 

Ditengah gulitanya malam, ditemani suara pengamen jalanan yang serak-serak basah, membuat air mata di pelupuk matanya mengering. Angin yang berhembus kencang melalui jendela juga membuat hidung Ella terasa tersumbat, juga membuat matanya terasa mengantuk dan berat. Saat hampir terlelap, suara bariton seseorang memecah jatuhnya Ella kedalam lubang hitam yang tak ada ujungnya.

Cinder'Ella' | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang