08 | Sayembara

44 6 12
                                    

S e l a s a ,  0 8 : 5 5

°°°

Ragil berjalan di koridor lantai 2 gedung 3 SMA GARUDA dengan setumpuk buku tulis fisika dipelukannya. Laki-laki itu berjalan dengan hati-hati ke kantor, entah kenapa dia jadi trauma setelah selalu menabrak seseorang ketika membawa banyak tumpukan buku.

Sesampainya di kantor, Ragil langsung menghampiri Bu Atun yang sedang duduk santai sembari memainkan game ujar khas ponsel Nokai. Perlahan, Ragil meletakkan tumpukan buku anak kelasnya di meja Bu Atun.

"Gil..."

Bu Atun tiba-tiba memanggil, padahal matanya masih mengarah pada layar ponselnya.

"Eh, kenapa, Bu?" tanya Ragil takut-takut.

Bu Atun mengangkat kepalanya dan meletakkan ponselnya. Kemudian menatap Ragil sambil memangku tangannya di atas meja. Baru saja Bu Atun hendak membuka suaranya.

"Oh iya, Bu, kemarin saya ketemu soal lumayan susah. Saya nggak nemu pemecahannya, Bu. Saya penasaran banget. Ibu mau kan, bantuin saya?"

Ragil teringat kalau kemarin dia belum sempat menyelesaikan soal dari buku yang ia pinjam di perpustakaan. Kemudian, lelaki itu membuka halaman lembaran buku yang dia cari.

Bu Atun menghela nafasnya juga memutar bola matanya. Dasar, batinnya.

Ragil menatap Bu Atun setelah menemukan halaman bukunya. "Nggak apa-apa kan, Bu?"

Sekali lagi, Bu Atun mendengus.

"Nggak, Na. Pokoknya ibu nggak bakalan mau walaupun kamu sogok pake apapun. Karena pilihan ibu buat pengisi musikalisasi puisi itu cuma kamu dan harus kamu."

Di meja guru lain, Ella tengah memperjuangkan hal yang menyangkut dirinya pada acara ulang tahun sekolah yang tinggal 2 minggu lagi. Bu Ratih dan Ella tampaknya keukeuh dengan pendirian argumennya masing-masing.

Wajahnya lesu, tampak hendak menangis. "Bu, yang kali ini maaf banget. Ella bener-bener nggak bisa..."

"La, kamu udah nerima tawaran saya bukan lalu. Jadi, jangan kecewakan kepercayaan yang sudah saya taruh ke kamu." Tegas Bu Ratih. Ella benar-benar ingin menangis sekarang juga.

"Tapi, Bu..."

Bu Ratih tersenyum ceria. "Nggak ada tapi-nya. Udah, ah... ibu mau ke kelas 10 IPS 3, ada kelas. Dadaaaaah,"

Setelahnya, Bu Ratih meninggalkan Ella yang memasang wajah sendu saat kepergiannya.

"Woy."

Ella menoleh. "Ngapain lo?"

Ragil terkekeh, sudah biasa disahuti ketus oleh Ella. "Abis ngumpulin buku fisika. Lu ngapain?"

Gadis itu menghela nafas panjang. "Ada urusan yang penting banget."

Ella bangkit dari kursi yang ada di depan meja Bu Rasti. Berjalan lesu keluar dari kantor menuju kelasnya. Ragil hanya memandang kepergian Ella dengan bingung. Ada apa dengan cewek yang biasanya terus mengomeli dirinya?

Apa Cinderella bersedih hati lagi?

Ragil berhenti melamun dan berlari mengejar Ella yang berjalan lambat. Jadi, belum terlalu jauh. Langkahnya disejajarkan, membuat Ella menoleh.

"Gue lagi nggak mau diganggu," ujarnya sendu, membuat Ragil terhenyak seketika.

Padahal dia cuma ingin bertanya, kenapa Ella sedih lagi? Apa ia harus memberinya es krim? Ragil berhenti melangkah, membiarkan Ella jalan ke kelasnya dengan terseok-seok sendirian. Mungkin benar, dia harus memberi ruang sedikit untuk Ella sekarang. Terlebih lagi dia tidak tahu apa yang terjadi pada gadis itu.

Cinder'Ella' | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang