Part 3

50 14 6
                                    

Aku selalu merasa sendiri dalam keramaian, aku merasa dingin dalam kehangatan, dan aku merasa gelap dalam sebuah harapan.

Alesya Adeline Sungkar 💞

*****

"Ale, besok lo sama si anak baru yang jadi pemeran utama, ya?" Saat ini aku sedang di rumah Lexis untuk menyelesaikan naskah dramanya.

"Kok aku? Aku nggak bisa akting Jes."

"Lo bisa kok, untung naskahnya selesai. Mir lo tuh kelompok cuma numpang nama, numpang makan, sama numpang wi-fi buat ML. Gak tau diri lu," cibir Jesy pada Mira yang asyik bermain game dan mengumpat saat dirinya kalah.

"Diem lu Jes, lagi nge-push nih."

"Aku pulang ya Lex, udah sore nih. Takut dicariin orang rumah," pamitku sambil berdiri dan membereskan barang-barangku.

"Elah, lo nggak pulang aja juga nggak bakal dicariin Le," sahut Mira.

"Maksudnya?" tanya Jesy dan Lexis yang kebingungan dengan maksud perkataan Mira.

"Eh, bukan apa-apa kok. Emang Mira suka nggak jelas bicaranya, yaudah aku pulang ya." Saat hendak keluar dari kamar Lexis tiba-tiba Mira merangkul pundakku dan melambaikan tangannya ke belakang.

"Gue juga pulang ya guys, makasih atas kerja samanya!" Dasar anggota OSIS seperti apa itu.

Aku menerima helm yang diberikan oleh Mira dan segera memakainya.

"Siap Le?"

"Iya."

Deru motor mulai meninggalkan perumahan Lexis yang sangat mewah bukan mewah dari rumahnya. Karena rumah Lexis terbilang biasa saja dan jika dibandingkan denganku mungkin lebih besar rumahku. Mewah yang ku maksud adalah saat di mana seorang ibu menjalankan kewajibannya, seorang ibu yang memberikan perhatian berlebih pada anaknya, dan seorang ibu yang selalu menjadi pundak saat anaknya terpuruk.

Tanpa sadar airmataku menetes begitu saja, buru-buru aku menghapusnya sebelum Mira mengetahuinya.

"Mira! Kenapa tadi kamu berbicara seperti itu di depan Jesy dan Lexis? Kalau mereka curiga gimana?" Mira melihat ke arahku melalui kaca spion.

"Ehehe, maaf, keceplosan."

Karena kesal, aku memukul pundak Mira dengan tasku.

"Ih kok pundak gue dipukul sih!"

"Ya lagian kamu, ngeselin banget."

Setelah 30 menit di jalan, akhirnya sampai juga di rumahku.

"Makasih ya Mir, mau mampir dulu nggak?" Aku menyerahkan helmnya kepada Mira.

"Ya elah, santai aja sih. Ga usah deh ya, gue langsung pulang aja. Bye Le." Setelah mengucapkan itu, Mira meninggalkan halaman rumahku.

"Assalamualaikum," salamku berharap ada yang menjawabnya tapi ternyata nihil. Aku tersenyum kecut melewati mereka yang sedang bercanda ria di ruang keluarga. Aku tidak pernah merasakan itu, merasakan hangat tawa bersama mereka, atau bahkan sebuah pelukan hangat yang meneduhkan.

Mereka seakan tuli dan buta akan kehadiranku. Seakan aku adalah patung tak bernyawa, tak memiliki hati, mati, dan sebuah delusi.

"Eh, anak haram udah pulang. Dari ngejablay kayak ibunya ya," ucap Sesil, dia adalah adik tiriku.

Aku masih diam saja, enggan untuk menjawab ucapan Sesil.

"Heh! Gue lagi ngomong sama lo!"

"Aku capek, mau istirahat." Saat akan menaiki tangga, tanganku dicekal erat oleh Sesil. Sontak aku menghentakannya dengan keras dan ternyata Sesil terjatuh.

AlesyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang