Berawal dari rasa penasaran hingga timbul keinginan untuk selalu dekat.
Alesya Adeline Sungkar 💞
*****
SILUET mentari pagi mengusik tidurku. Badanku serasa dicambuk ratusan kali, tidur tanpa alas membuat tulangku kaku dan jangan lupakan lebam akibat tamparan kemarin. Bagaimana nanti aku ke sekolah? Pasti kelihatan.
"Ternyata pintunya belum ada yang buka."
Aku bangkit menuju ke pintu gudang.
"PAPAH! Tolong bukain pintunya, aku mau sekolah. PAH, MAH, ALE MAU SEKOLAH! Maafin Ale, tolong bukain pintunya." Aku menengok ke jam yang menempel di dinding di mana jarum panjangnya menunjuk ke angka 6 dan jarum pendeknya ke angka 3. Itu berarti 45 menit lagi gerbang sekolah di tutup.
Langkah kaki terdengar mendekati gudang. "PAH, MAH, tolong bukain!" Aku menggedor pintu itu semakin kencang. Aku takut telat dan dicap sebagai anak nakal.
Usahaku tak sia-sia, pintunya terbuka menampilkan sosok yang telah rapi.
"Cepat! Aku mengantarmu sekolah!"
Aku tersenyum sangat tulus, setelah sekian lama akhirnya aku bisa berangkat diantar seorang ayah. "Iya, Pah." Tanpa menghilangkan senyum di bibirku, aku segera ke atas untuk bersiap ke sekolah.
*****
"Em, Pah boleh aku menyalakan lagunya?"
Papahku hanya diam saja, kata orang jika diam itu berarti iya. Tanganku terulur untuk menyalakan radio dan mencari lagu kesukaanku. Saat aku akan menambah volumenya, tanganku disentak dengan sangat kencang.
"Jangan menyentuh apapun dengan tangan kotormu," ketusnya dengan nada sinis dan tatapan yang sangat tajam.
Ternyata tidak semua kediaman berati sebuah persetujuan. Adakalanya diam itu berarti tidak. Hanya saja mungkin ada sebuah alasan kuat untuk tidak menyampaikannya.
"Maaf," cicitku. Aku tidak akan menyerah, aku akan terus berusaha mengembalikan kehangatan papah.
"Pah, mau dengar hari pertama aku masuk sekolah gak?" Tak kunjung dijawab, aku akhirnya meneruskan perkataanku. "Jadi Pah, kemarin aku di sekolah jatuh 'trus sepatu aku terlempar dan masuk ke tempat sampah. Papah tau? Aku berharap ada lelaki tampan yang menolongku, ternyata tak ada satupun orang yang mau menolongku." Aku semakin memelankan suaraku, jika dipikir-pikir semenyedihkan itu aku.
"Diam! Mengganggu," ucap Papahku sangat rendah dan penuh penekanan, aku memalingkan wajahku ke jendela. Sebulir airmata menetes tanpa disuruh, aku menatap awan putih mengabu hendak mencurahkan perasaannya.
Jika aku boleh memilih, aku tidak ingin hidup seperti ini. Kesendirian ini bukanlah hal yang menyenangkan, aku membutuhkan sebuah pundak untuk bersandar. Aku membutuhkan orang tua yang mendengarkan anaknya bercerita apa yang dia alami di hari pertama sekolahnya.
Tuhan, aku tidak meminta uang yang melimpah. Aku tidak meminta keluargaku menerimaku. Aku hanya ingin dihargai, dipeluk, dan diperhatikan. Sesederhana itu, apakah itu sulit?
"Cepat keluar!" Aku tersadar dari lamunanku, ternyata sudah di depan gerbang sekolah. Aku mengangkat tanganku untuk meminta doa pada Papah. Lagi-lagi penolakan, aku tersenyum kecut dan segera keluar dari mobil.
Setelah menutup pintunya, Papah langsung mencap gas dan meninggalkan area sekolah. Aku memasuki gerbang dengan kepala tertunduk.
"DORRR."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alesya
Teen Fiction'Tentang sebuah hubungan, tentang lara yang tak kasatmata, tentang rasa yang tak pernah ada' Selama ini hidup Alesya biasa saja, tidak ada yang menonjol terkecuali penampilannya. Sebelumnya kehidupannya, dirinya, dan rasanya tidak ada yang luar bias...