23. Consider

846 189 12
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading


Satu tamparan keras baru saja Soobin dapatkan di pipinya.

Kim Seokjin Ayahnya begitu marah saat mendapati si sulung kembali ikut ke dalam kumpulan anak liar dan balapan motor besar. Ia tak habis pikir, apa yang membuat Soobin selalu urak-urakan.

Tidak cukupkah anugerah kekayaan dan kepintaran berpihak padanya??

"PAPA ENGGAK PERNAH AJARIN KAMU KAYA GINI, KAK!"

Seokjin tak lagi dapat menahan emosi. Ia kalut, sampai berani menampar Soobin dihadapan Hueningkai putra bungsunya yang sudah ketakutan.

"Kamu kenapa, hah?!"

"Papa jangan keras-keras gitu sama Kakak." pekik Kai memeluk kedua kaki jenjang sang Ayah.

Takut semakin kalut, Seokjin pergi dari ruang tamu. Meninggalkan Soobin yang masih enggan menatap balik.

"Maafin Soobin, Pa."

































"Yeonjun?" tanyaku sedikit panik melihat dia bergerak gusar di tengah tidurnya.

Yeonjun diam, hanya membuka matanya lemas dengan peluh membasahi dahi. Lantas aku pun langsung meletakkan punggung tanganku pada dahinya.

"Astaga, kamu demam?"

Panikku langsung mencarikan cooling fever di dalam nakas. Untungnya, masih tersisa satu karena dulu Yeonjun memang sempat sering mengalami demam.

Setelah membuka plastiknya, aku pun langsung medekat dan menempelkan bagian biru pada dahinya.

Yatuhan, bahkan selimut yang ia pakai ikut menghangat karena panas tubuhnya yang tinggi.

"kamu tunggu di sini dulu ya, biar aku panggil dokter–"

"Ga usah Vey. Udah malam, kasihan dokternya."

"Yeonjun ga usah ngasal deh! Tugas dokter tuh emang gitu. Mereka harus siaga tiap saat demi kesembuhan pasien."

"Iya aku tahu, tapi aku cuma lagi butuh kamu doang. Bukan dokter." lanjutnya membuatku bungkam kemudian.

Setelahnya, tangan kurus itu mencoba meraih tanganku lalu mengapitnya di atas perut "di sini aja ya? Aku takut sendirian." gumam Yeonjun sambil menoleh pelan.

Dapat kulihat ada genangan air di pelupuk matanya.

"Hei.., kamu nangis?"

Yeonjun menggelengkan kepala. Dan mulai menyusun alibi.

"aku kangen. Tapi ngantuk, makannya gini"

Sudahlah, aku mulai bosan mendengar tiap kebohongannya.

"Vey,"

"hmm?"

"besok hasil labnya keluar–"

Jeda Yeonjun sambil menggenggam erat tangan kananku. Ia berbicara dengan mata yang tertutup, dan aku bersyukur atas itu. Dia jadi tak tahu seberapa merahnya wajah si manusia stundere Livia saat ini.

"Apa pun hasilnya nanti. Kamu tetap di sini kan?"

"M-maksudnya Jun?"

"aku menyayangimu."

Setelah kalimat itu, Yeonjun langsung berbalik. Mengeyampingkan tubuhnya dalam kondisi berbaring ke arahku. Ia tak mengatakan hal lainnya.

Hanya diam sambil tersenyum simpul.

Semakin erat menggenggam tanganku, dan mulai tertidur kemudian.


Firasatku jadi tak enak.

.
.
.
To be continued

[√] HEARTBREAK || ʸᵉᵒⁿʲᵘⁿTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang