Harus Banget Dijaga

433 55 4
                                    

Harus Banget Dijaga





SORE ini, sekumpulan pemuda harapan bangsa mempersiapkan diri untuk kembali ke ibu kota negara tercinta mereka, Jakarta. Sebab rihlah mereka pekan ini usai sudah.

Hamas yang terakhir masuk ke dalam mobil Alphard Hitam milik Benjamin, menutup pintu dan setelahnya perlahan mobil mulai melaju.

Fajar dan Shiddiq yang duduk di kursi belakang, melemaskan otot-otot mereka dengan cara bersandar ke jok mobil yang empuk. Ada beberapa senjata pengganjal perut yang tergeletak di dekat mereka. Karena Fajar dan Shiddiq memang benar-benar doyan ngemil dan makan. Hamas juga sih. Dia lagi, jagonya.

"Weh, abis bahasan kemaren, gue jadi mikir lagi neh," kata Shiddiq.

"Mikir opo, Mase?" tanya Fajar dengan kepala bergerak melihat ke arah Shiddiq. Dasar kaum senderan, nyari cara terus biar punggung nempel ke sandaran yang tersedia.

"Ternyata selama ini gue udah merasa mampu ya, agak-agak sombong," kata Shiddiq seraya memeluk sebungkus snack kentang yang belum dibuka. "Sebelum-sebelumnya, kalau mau Ramadan ya minta biar ditemuin ke Ramadan. Mana ada minta biar dimampuin ngerjain ibadah-ibadah Ramadan yang bwanyak itu."

"Sama, Diq. Gue juga ngerasa oon banget lah," timpal Fajar.

"Alhamdulillaah, dapet ilmu rihlah kali ini," kata suara Bima yang duduk di samping pak sopir yang sedang bekerja mengen-darai Alphard supaya baik jalannya. HEY!

"Tapi ibadah puasa itu emang unik," sambung Saad. "Kan Allah sendiri yang bilang, Puasa ini untukKu dan Aku yang langsung mengganjarnya. Karena Allah seneng banget kita puasa. Kenapa? Karena ibadah puasa itu ibadah yang ngga banyak orang yang bisa tahu, apakah kita lagi puasa atau ngga."

"O iya," Ben mengangguk paham. "Pernah dibahas nih sama lo, Ad. Yang waktu kita mabit di JakPus."

"Di banyak kajian juga dibahas, Allah menegaskan bahwa puasa ini untuk Allah," kata Saad lebih jauh. "Para ulama terdahulu bilang, maknanya tuh bahwa ngga boleh kasih ibadah puasa itu selain kepada Allah."

"Harus Lillaah ya, Ad?" sambung Shiddiq.

Saad menoleh pada Shiddiq yang duduk di belakang Hamas, kemudian mengangguk. "Iya, harus ikhlas. Puasa Ramadan itu momentum kita buat belajar tauhid. Puasa momen menjaga keikhlasan, momen menjaga hati. Makanya, kalau orang ngga ikhlas di Ramadan, berat tuh buat ibadah di luar Ramadan."

"Wadoooh, emang!" kata Fajar.

"Di luar Ramadan aja berat yak mau ibadah-ibadah," kata Hamas sambil cengar-cengir. "Apalagi Ramadan neh. Gue sih udah siap-siap aja dah ngadepin Saad."

"Lah, kok gue, boi?" tanya Saad.

"Ya iya, elu. Kan gue nanti puasa bareng elu. Masa gue siap-siap ngadepin Fajar? Kan yang puasa bareng gue, ya lau lah."

Saad cuma manggut-manggut, menahan tawa. "Beneran neh ya? Siap-siap?"

"Siap kaga siap, nyet, ah!" gerutu Hamas cepat.

Shiddiq yang duduk di belakang Hamas, terbahak.

"Pucet lo, Mas. Wah gela seh, ngga kebayang sepucet apa lo ngimbangin ibadah Ramadan-nya Saad."

Kemudian Fajar menempelkan punggung tangan ke dekat bibirnya sendiri. "Kena opname si Hamas neh entar ya. HAHAHA!"

Jahat banget. Heran.

Tapi Hamas cuma mengernyit, lalu tak mau ambil peduli.

"Nanti pas Ramadan, kalau bisa, amalan-amalan disembunyiin juga," kata suara Bima di depan sana. Bagusnya ini mobil derunya nyaris tidak ada, jadi yang belakang bisa dengar suara Bima dengan jelas.

[✓] HAMASSAAD Mencari CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang