Begitu tiba di kontrakan Saad, Hamas langsung membanting dirinya ke sofa. Sehari ini mereka menghadiri kajian dari waktu Dhuha sampai bakda Asar. Sengaja tidak berbuka di masjid, karena Saad bilang dia mau shalat Magrib di masjid dekat kontrakan Saad karena ini adalah malam ke dua puluh lima Ramadhan, yang mana mereka punya rencana untuk itikaf di masjid istiqlal pakai tenda.
"Gerah bat! Geraaah!"
Cuaca siang ini memang tergolong panas meski jam di tangan Hamas tadi menunjukkan pukul empat sore. Harusnya matahari tidak segarang itu. Tapi...
"Parah bat dah ah," Hamas berguling pelan, sementara Saad sibuk di belakang.
Ya nyiapin buat buka puasa lah, ngga mungkin Hamas yang nyiapin.
"Wedeeh, mantep!" kata Hamas begitu melihat Saad kembali ke depan dengan dua gelas teh manis. Hamas makin berharap masjid dekat kontrakan Saad lekas mengumandangkan azan.
"Hareudang euy hari ini," kata Saad, menyalakan kipas angin yang kali ini dia angkut dari kamar. Hamas request kipas dinyalakan di putaran paling kencang.
"Makanya, pasang AC lah, nyet," kata Hamas, mengibas-ngibas kaos biru dongkernya.
Saad hanya tertawa menanggapi permintaan karibnya. Hamas rebahan lagi, lantas main ponsel, sedangkan Saad memilih membaca lanjutan tanda di mushaf yang dia senantiasa bawa-bawa.
"Bahaha! Bocah kocak aje dah!" komentar Hamas saat melihat wasap-story teman-teman basketnya. "Weh, boi, liatin dah," Hamas menyikut Saad yang memang duduk di dekatnya. "Masa neh, si Rahman posting; Lihat segel akua, kayak lihat duit goban. Bahaha. Tulul!" Hamas heboh sendiri. "Neh, lagi, si Andreas, katanya; Puasa gini, lihat kecoa kayak lihat kurma. Lihat kumpulan karet gelang, kayak lihat bihun goreng. Ogeb! Hahaha!"
"Istighfar, Mas," kata Saad, mengingatkan.
"Ya elah, kaku amat lu, Ad..." Hamas bergerak menjauh dari Saad. Duduk bersandar di sisi sofa yang sebelah sana. "Kan becanda. Saking kelaperan, sampe halu," tambahnya sembari melirik jam digital di pojok kanan atas layar ponselnya. "Astaghfirullaah, lama amat yak. Baru jam lima lewat tujuh belas wey..."
Mendengarnya, Saad menoleh.
"Kalau puasa, tapi lihat jam terus, ngga sabar maunya buka puasa, lihat makanan tergoda, lihat kecoa kayak kurma... Berarti puasanya ngga serius. Puasanya ngga ikhlas. Yang kayak gitu mau dapet ampunan Allah?"
Kalimat Saad membuat Hamas menghentikan aktifitas terhadap layar ponselnya. Sepasang matanya melirik Saad yang kini geleng-geleng kepala sembari membuka kembali mushafnya. Lantunan lirih Saad terdengar lagi.
Tapi Hamas tidak protes apalagi memaki. Dia sudah paham bahwa maksud Saad yang barusan itu baik, bukan maksud buat bikin sakit hati atau gimana. Ya, salahnya Hamas juga sih, ngeluh-ngeluh tentang puasa padahal ini sudah hari-hari menjelang final.
"Pernah ngga sih, Mas, antum ngerasa sedih, Ramadhan udah mau kelar?" tanya Saad. Mushafnya tertutup lagi, meski Saad masih memilih menatap mushaf di tangannya. Tidak menoleh sama sekali.
Dan ditanya begitu, jelas saja Hamas tidak bisa langsung menjawab. Dalam benak Hamas, tidak ada bedanya Ramadhan atau tidak. Sebagai tahun pertama dia menjalankan puasa Ramadhan dari pagi hingga petang, ini adalah sesuatu pengalaman baru. Dia tidak pernah seserius ini dalam beribadah puasa wajib.
Pernah ngga sih, Mas, antum ngerasa sedih, Ramadhan udah mau kelar?
Karena ini pengalaman pertama, Hamas justru berharap Ramadhan ini segera berakhir. Dia kangen rutinitas harian yang melelahkan, yang karena puasa terpaksa ditiadakan untuk sementara.
Tapi kok Saad melow gitu ya?
"Elu?"
Akhirnya Hamas balik bertanya.
"Kalau bisa setahun Ramadhan-nya, gue ngarepnya setahun aja Ramadhan."
Saad nyengir. "Itu dia," ucapnya. "Kata asatidz, muslim yang mukmin sepanjang tahunnya Ramadhan," sambungnya. "Lebarannya nanti, di Surga."
Hamas menghela napas, lalu meletakkan ponselnya ke atas meja, dekat segelas teh manis yang masih panas mengepul.
"Saan ae lu mah jawabnya, boi!" kata Hamas cepat.
"Tapi seneng ya, Mas, Ramadhan itu rame. Orang-orang semangat shalat. Masjid-masjid penuh," kata Saad. "Kalau aja Ramadhan sepanjang tahun... Seru kayaknya."
Hamas rasanya mau merespons; Elu aja itu mah yang bilang seru.
Saad mendongak, melihat jam dinding mengarah pada pukul enam sore kurang sepuluh menit.
"Udah mau azan, Mas. Doa-doa dulu!"
Hamas manggut-manggut. Yeah, Saad dengan konsep berdoa sebelum berbuka.
"Udah hafal doanya belum?" tanya Saad.
"Yoi, boskuh," jawab Hamas, menyalakan layar ponselnya. "Dzahabazh zhoma'u wabtalatil'uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah. Ye kan?!"
"Nyontek."
Kaki Hamas menjangkau kaki Saad dan menendangnya pelan, diiringi dumalan. "Ya udah seh!"