Seorang gadis dengan bandana hitam melekat dikepalanya, kini hanya diam bersandar di tepi jendela. Mungkin raganya berada disini, tapi sungguh jiwa dan pikirannya menerawang ke kejadian beberapa tahun lalu.
Disaat ia benar-benar kehilangan segalanya. Perpisahan kedua orang tuanya, membuat ia harus memilih antara satu diantara mereka. Belum lagi, kepergian seseorang yang dulu selalu menemani hari-harinya. Bahkan wajahnya tak pernah absen sehari pun dari hidupnya.
Hidup dalam perandaian memang sulit. Tetapi kali ini, biarkan ia untuk sedikit berandai. Andai bisa ia mengulang waktu tepat di malam hari itu. Andai jika dia tau, itu adalah hari terakhirnya memiliki segalanya—keluarga bahagia, juga seseorang yang bermakna.
Andai... Cukup! Jika semua hal dikaitkan dengan perandaian maka tidak akan ada habisnya. Yang ada hanya merugikan diri sendiri. Membuat kita terjebak dalam harapan semu—yang jelas-jelas takkan terjadi.
Karena siklus dunia itu hanya sekali. Sekalipun bisa mengulang kembali, maka rasanya tidak akan sama seperti pertama kali. Semuanya akan terasa hambar. Layaknya makanan tanpa garam.
Ia mengambil kotak tersebut—yang sedari tadi hanya ia amati dalam diam tanpa berani membukanya. Entah sudah berapa tahun usia kotak ini. Warnanya benar-benar usang. Bahkan beberapa sisinya sudah ada yang terkelupas.
Jika diingat, sudah hampir tujuh tahun kotak ini bersamanya. Sejak sang pemilik menitipkannya kepada bapak pengantar barang. Dan sejak saat itu juga, ia tak pernah berani membukanya.
Oh, ralat! Bukan tak berani membuka kotaknya. Hanya saja ia tak berani membuka kenangan didalam kotak itu. Yang ia inginkan bukanlah sebuah kotak—tetapi sang pengirim kotak tersebut.
Tok tok.
Baru saja ia ingin membuka kotak itu. Suara ketukan pintu berhasil menyentaknya. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak tersebut, dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Pintu kamarnya pun terbuka. "Nat, kok belum tidur?" tanya Anggi—Mamanya—seraya meletakkan nampan berisi susu coklat dingin diatas nakas. "Jangan lupa diminum ya, susunya."
Gadis itu yang tak lain adalah Nata. Atau lebih tepatnya Rayla Syadinata. Menanggapi Mamanya dengan anggukan kepala.
Anggi menghampiri sang putri. Mengusap surai lembutnya, "tutup jendela kamarmu, angin malam gak bagus buat tubuh kamu."
Nata mengangguk lesu. "Iya, Ma."
Anggi mengecup lembut kening Nata. "Jangan tidur terlalu larut, ya. Selamat malam, Putri Mama." Anggi beranjak keluar kamar, dan menutup rapat pintu kamar sang putri.
Selepas kepergian Mamanya. Nata segera menutup jendela, dan meminum susu coklat dingin—favoritnya. Sekali lagi ia menghela napas pelan, tak pernah henti ia berharap agar semua bisa kembali seperti dulu.
Disaat kebahagiaan terus saja menghujaninya tanpa henti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Au Revoir
Teen Fiction❝Mungkin tokoh dalam kenangan akan pergi. Tetapi kenangan tidak akan pernah pergi sejauh apapun tokohnya melangkah, bukan?❞ __________ Aku merindukannya, sangat. Tetapi dengan mengingat segala hal tentangnya, kurasa itu bukan pilihan yang tepat. Mem...