Together

654 68 8
                                    

"Are you still mad?"

Suara lembut yang berasal dari pintu kamar yang terbuka tak menggoyahkan Yifan dari amarahnya. Ia hanya berdiri diam dan sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menoleh pada pemilik suara.

Kerutan dalam menghiasi dahinya ketika ia berpikir keras, nafasnya sedikit lebih berat dan Yifan tahu jika saat ini dirinya merasakan lebih dari sekedar amarah. Dia tak pernah semarah ini sebelumnya, yang bercampur dengan rasa kecewa, takut, sedih, Yifan merasa tidak lebih penting.

"Baiklah" suara lembut itu terdengar lagi. "Aku akan meninggalkanmu sendiri" masih berdiri di sana, tangannya yang berpegangan pada kenop pintu menguat merasakan dadanya mulai sesak. "Maaf sudah membuatmu marah. Maaf, tidak memberitahumu sejak awal" suaranya bergetar.

Saat itu Yifan memutar kepalanya ke balik punggung, untuk melihat pintu kamar yang tertutup, kemudian ia menghela nafas berat.







Senin di bulan desember yang dingin, Tao tidak seharusnya berada di ruang tamu menonton televisi ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Udara cukup dingin meski dirinya berada di dalam rumah, dan sebuah selimut yang menutupi tubuhnya tak cukup memberinya kehangatan yang layak.

Tao tidak memperhatikan apa yang ditayangkan di televisi, dia tidak melihatnya, kedua matanya basah seperti pipinya yang sedikit tirus. Ia berusaha untuk fokus, namun rasa sesak di dadanya membuat air matanya tak bisa berhenti.

Sungguh ia tak bermaksut menyembunyikan apapun dari suaminya, Yifan.

Dengan menghela nafas berat, Tao menyeka air mata yang membasahi pipinya dengan punggung tangan, kemudian menarik selimut lebih tinggi. Membiarkan televisi tetap menyala saat ia memutuskan untuk memejamkan mata karena rasa pedih dan lelah, dan perlahan posisi duduknya bergerak turun setelah kesadarannya terbawa mimpi.

Hanya berjarak beberapa menit saat sosok Yifan terlihat menuruni tangga, sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara di lantai marmer rumah mereka. Membawa tubuhnya ke arah ruang tamu dimana dirinya dapat mendengar suara berisik telivisi dengan suara sedang dan berdiri tepat dihadapan Tao yang sudah tertidur.

Dengan kepala bertumpu pada tepian sofa yang empuk, Tao memejamkan matanya cukup lelap, terbukti bahwa ia tak bereaksi saat Yifan meraih tubuh itu dengan hati-hati. Kembali meniti tangga menuju kamar mereka di lantai atas, Yifan memperhatikan wajah Tao yang sedikit pucat, lalu memberikan kecupan panjang di kepalanya.

Setelah meletakkan tubuh semampai Tao di atas tempat tidur mereka yang empuk, Yifan membenahi letak selimutnya dan memastikan ia tidak kedinginan. Yifan duduk di tepian tempat tidur, membawa tangannya untuk mengusap pipi Tao yang sedikit dingin, kemudian mendaratkan kecupan panjang di dahinya.

Saat Tao terbangun dipagi hariㅡbahkan sebelum bunyi alarm yang berisik memenuhi seluru kamarㅡia menyadari jika dirinya telah berada di kamar dengan 2 selimut tebal menyelimuti tubuhnya, serta Yifan yang tidur di sampingnya. Pemandangan pagi hari yang sangat ia sukai sejak pernikahan mereka 2 tahun yang lalu, dan sampai saat ini memandangi wajah tidur Yifan masih menjadi sebuah kebiasaan untuknya.

Suaminya tampak lelah, terlihat di wajah tampannya. Yifan sudah melakukan tugasnya dengan baik sebagai seorang suami dan Tao tidak pernah lebih bersyukur sudah memiliki suami seperti Yifan. Ia mengulurkan tangan, menyentuh pipi Yifan dan mengusapnya perlahan, merasakan suhu tubuhnya yang hangat, Tao tersenyum.

Detak jarum jam menyadarkan Tao dari kegiatannyaㅡmemperhatikan sang suamiㅡkemudian memutuskan untuk turun dari tempat tidur, mengenakkan slipper miliknya tanpa menimbulkan suara, lalu keluar dari kamar untuk membuat sarapan.

Tao berjalan pelan, sesekali berpegangan pada dinding saat menuju dapur. Ia memutuskan untuk membuat roti bakar dengan telur mata sapi, juga segelas kopi yang disukai Yifan, dan semangkuk sereal dengan susu vanilla.

Telur mata sapi di atas teflon terlihat cerah dengan warna kuningnya, Tao hendak memindahkannya ke atas piring saat sepasang lengan memeluk pinggangnya dan sebuah kepala bersandar di bahunya. Tao terhenyak, nyaris menjatuhkan spatula di genggamannya, namun dengan cepat ia mematikan api dan menengok ke bahu kanannya untuk melihat helai coklat Yifan yang berantakan.

"Yifan?" suaranya pelan, sedikit ragu. Merasakan usapan di perutnya, Tao membawa pandangannya ke bawah, dan menggenggam tangan besar Yifan lembut.

"Maafkan aku" Yifan mengatakannya setelah menarik nafas panjang. Suaranya sedikit tercekat. "Maafkan aku, seharusnya aku tidak semarah itu padamu, Taozi" juga dengan penyesalan.

Tao memejamkan matanya sejenak, sebelum kembali terbuka dengan cairan bening menggantung di sana. Ia mengusap tangan Yifan, kemudian menggelengkan kepala.

"Tidak, Yifan. Jangan minta maaf, kau berhak untuk marah" Tao nyaris terisak.

"Tidak" Yifan menggelengkan kepalanya tidak setuju, pelukannya menguat. "Seharusnya aku tidak bersikap seperti itu padamu. Aku adalah suamimu, aku sangat mengenalmu lebih dari siapapun, seharusnya aku tidakㅡ"

"Yifan" Tao memotongnya dengan suara pelan yang lembut. "It's okay. I should apologize too"

Yifan mengusap perutnya lagi, yang sudah beberapa bulan ini berbentuk bulat dan berukuran cukup besar. Tao merasakannya, bahunya terasa sedikit basah dan Yifan berkali-kali menarik nafas dalam di lehernya.

Tao menggigit bibirnya kuat, tak ingin meloloskan setetes air matapun, namun ia gagal. Tidak dengan Yifan yang tengah menangis di bahunya dalam diam, dan dirinya tidak bisa menghentikan air mata yang jatuh hingga membuat tenggorokannya seperti tercekik.

"Seharusnya aku memberitahumu setelah hasil lab itu keluar" Tao mendengar suaranya bergetar. Yifan mengeratkan pelukannya. "Seharusnya aku memberitahumu dan bukannya menyembunyikan hal itu darimu"

"Taoㅡ"

"Aku hanya takutㅡ" ia terisak. "Takut jika kau menyuruhku untuk menggugurkan kandunganku hanya untuk menjalani terapi kanker itu, Yifan" Tao sudah tidak bisa lagi membendungnya, tubuhnya bergetar seiring dengan air mata yang semakin deras mengalir.

"Tidak, Taozi, tidak" Yifan menarik tangannya untuk membalikkan tubuh Tao agar menghadap dirinya. Hatinya terasa mati rasa melihat wajah Tao yang basah dan berusaha menyekanya cepat. "Jangan menangis, kumohon" ia bahkan tidak bisa mengendalikan air matanya sendiri.

Tao menggelengkan kepala lemah, mencium telapak tangan Yifan saat berusaha menghapus air matanya. Ciuman bertubi-tubi ia terima di dahi, mata, hidung, kedua pipi dan terkahir bibirnya. Yifan memeluknya erat, sangat erat.

"Don't cry, please" Yifan berbisik lembut.

"How i'm not cry if you crying too?" Tao terisak di bahu suaminya.

"I love you, Taozi. I always do. I'm not gonna make you abort our child, okay?" Yifan berusaha keras menghentikan air matanya, perlahan ia melepaskan pelukannya dan menyeka air mata Tao yang membanjiri seluruh wajahnya. "Aku berjanji kita akan mencari jalan keluar bersama tanpa harus membahayakan bayi kita. Pasti ada cara lain untuk menyembuhkanmu"

Tao mengangguk, membantu Yifan untuk mengelap wajahnya dan mempertemukan mata mereka yang masih basah. "I'm scared, Yifan"

"Don't be scared, i'm here. We're been always together, okay? Don't say anything like that again, promise me" Yifan mengatakannya dengan suara bergetar.

Tao menarik nafas kecil. "I promise"

Yifan tersenyum, kemudian mengecup bibir Tao yang berakhir dengan ciuman panjang dan sarapan yang terlupakan.









***







A/n: selamat Hari Raya Idul Fitri teman-temaaan~~
Maaf untuk kesalahan yg tidak disengaja maupun yg disengaja yaaaa.  Mari kita mengumpulkan dosa lagi
/heh

Kris And Tao Ship: And How To Sail ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang