Luna mencuci tangan dan berjalan ke pintu depan untuk membukanya. Betapa terkejutnya ia melihat seorang yang ia kenal baik di depan pintunya, seorang yang sama sekali tidak ia harapkan untuk datang mengunjunginya saat ini.
~>Y<~
"Papa? Sedang apa papa di sini?" tanyanya sedikit gugup.
"Apa papa harus ijin padamu kalau ingin mengunjungimu? Papa ada urusan bisnis kemarin dan berniat mengunjungimu untuk melihat keadaanmu sebelum kembali ke Solo nanti sore. Kau tidak mengajakku masuk?" jawab papanya keheranan melihat sikap anak gadisnya itu. Luna menengok ke arah kamar mandi sejenak sebelum akhirnya mempersilahkan papanya masuk dengan perasaan khawatir.
Pria paruh baya itu berdiri untuk mengamati unit apartemen itu dan mendapati sarapan disiapkan di meja untuk dua orang.
"Apa kau tahu papa akan datang sehingga kau menyiapkan sarapan? Apa kokomu memberitahumu? Padahal papa ingin memberimu kejutan." katanya lagi. Bersamaan dengan itu Mello keluar dari kamar mandi hanya mengenakan celana pendek dengan rambut basah yang tertutup handuk.
"Luna, tolong keringkan rambutku." katanya sambil menggosok rambutnya dengan handuk tanpa melihat. Ia menurunkan handuk untuk melihat karena tidak ada jawaban dari gadis itu. Di hadapannya, seorang pria paruh baya menatapnya dengan kemarahan di matanya sementara Luna memandangnya dengan ketakutan.
~>Y<~
Mello duduk tegak penuh rasa cemas di sofa sementara Luna berdiri tak jauh sambil melipat tangan di dada dan bermuka muram. Papanya berdiri berkacak pinggang di depan mereka sambil menelepon seseorang.
"Halley, kau di Jakarta kan? Sudah selesai rapat? Cepat ke apartemen, segera." katanya dingin. Tanpa berkata lebih lanjut, pria paruh baya itu mematikan telepon dan kembali memandang mereka berdua.
"Papa, biar aku jelaskan dulu. Jangan bawa ko Halley dalam masalah ini." kata gadis itu memecahkan keheningan.
"Papa tidak mau dengar darimu. Kau bisa saja tidak memberitahukan yang sebenarnya padaku." katanya dingin sambil melihat pada pria yang duduk di hadapannya.
"Lalu apa yang membuat papa berpikir bahwa ko Halley akan memberitahu yang sebenarnya?" kata gadis itu dengan mencemooh.
"Kau.." kalimat itu terhenti dari mulut pria paruh baya itu.
"Kita tunggu saja dia." lanjutnya lagi.
"Paman, biar saya menjelaskan." kata Mello berusaha membela gadis itu.
"Aku bukan pamanmu. Dan sebaiknya kau diam saja kecuali kau mau kesabaranku benar-benar habis terhadapmu." katanya sambil menunjuk pria muda itu. Mello kembali menutup mulutnya dalam diam.
~>Y<~
Halley berangkat pagi-pagi sekali dari Bandung untuk menghindari kemacetan jalan. Hari ini ia harus berada di Jakarta untuk rapat dengan calon klien baru. Rapatnya seharusnya akan selesai di siang hari. Setelah itu, ia akan mengunjungi Luna. Adik kesayangannya itu jarang memberinya kabar walaupun tiap hari ia menanyakannya. Sebenarnya ia tidak sepenuhnya setuju saat adiknya itu ingin membawa pulang pria yang hilang ingatan ke rumah untuk merawatnya. Tapi ia tahu adiknya tidak akan bisa dilarang. Selain itu, ia berharap kejadian ini bisa mengubah hatinya yang keras karena apa yang ia anggap sebagai pengkhianatan papa mereka.
Rapat baru selesai saat ponselnya mulai berdering. Halley mengangkat panggilan dari papanya, yang memintanya datang ke apartemen. Halley segera bergegas mengemas kertas-kertas hasil rapatnya setelah mendapat telepon dari papanya. Jangan-jangan papa ada di apartemen sekarang, pikirnya. Ia segera masuk ke mobil dan menyetir ke arah apartemen lama tempatnya tinggal bersama Luna sebelum ia menikah. Jalanan Jakarta yang macet membuatnya menghabiskan banyak waktu untuk sampai ke lokasi itu. Segera ia memarkirkan mobil dan naik ke lantai unitnya. Ia memasukkan password dan membuka pintu untuk menemui papanya yang sedang berdiri di hadapan Luna dan seorang pria yang tidak dikenalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is My Big Baby
FanfictionLuna menemukan seorang pria yang pingsan di sebuah jalan yang gelap. Akankah pertemuan aneh ini mengubah takdirnya?